Kamis, 17 Mei 2012

KISAH YANG MENGURAS AIR MATA

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.”
“Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara.”
####
“Mengenalmu adalah anugerah dan berpisah denganmu adalah kepedihan.”
Dewa Klasik Alexander

#####
Setelah sekian lama, baru malam ini aku memimpikanmu. Saat aku terjaga, aku merindukanmu. Rasanya, semuanya baru kemarin saja kita bertemu. Aku menjadi rindu saat-saat dimana kita pernah mengukir sejarah persahabatan kita. Sejarah yang mungkin tidak akan dikenang oleh dunia. Tapi aku tetap mengenangnya. Mengenang dengan air mata.
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Kalimat ini yang selalu kamu katakan padaku. Aku bangga punya sahabat sepertimu. Kamu adalah sahabatku yang terkadang juga  menjadi motivator, guru dan konselor pribadi bagiku.
Aku baru menyadari bukan kedekatan dan keakraban yang membuat kita bersahabat tapi hanya karena kasih. Yah… Kamu mengasihiku dan aku juga mengasihimu. Hanya ada satu kata yang meampu menggambarkan persahabatan kita yaitu kasih.
Kamu itu seperti bayanganku saja. Di mana ada aku di situ juga kamu ada. Perbedaan yang kita miliki tidak dapat menjadi benteng bagi kita untuk menjadi sahabat. Kadang aku berpikir kenapa dan mengapa seorang Nicholas yang pendiam, sabar, dewasa, pintar dan rapi bisa memiliki seorang sahabat yang bernama Dewa Klasik yang childish, isengnya yang gila banget, urakan,  narsis stadium tingkat tinggi dan tempramen tinggi. Aku sendiri tidak tahu, kapan dan di mana kita pertama kali menjadi sahabat.
Mungkin persamaan yang kita miliki hanya ada dua yaitu kita sama-sama ganteng dan memiliki banyak penggemar wanita. Ha…ha…ha…ha… Bukan satu kebetulan Tuhan mempertemukan kita. Kita bisa saling mengenal dan mengisi setiap lubang-lubang kelemahan yang kita miliki dengan hal-hal yang membangun. Dulu kita sering bertiga, namun kita hanya berdua setelah Xafier meninggal dunia karena kecelakaan.
Aku masih ingat sewaktu aku bolos di jam pelajarannya Ibu Melisa yang anak-anak juluki si Mrs. Killer. Kamu ikut-ikutan bolos juga waktu itu.
“Nicho, loe ngga usah ikut-ikutan bolos kayak gua!”
Kamu menatapku dengan tajam seperti rajawali yang memantau mangsanya begitu mendengar ucapanku waktu itu.
“Loe tau ngga, kenapa gua ikutan bolos? Dalam hidup gua, baru sekali ini bolos. Dan gua ngga menyesal melakukannya,” katamu dengan penuh wibawa. Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepala seperti anak kecil yang dimarahin orang tuanya.
“Gua takut kalau sahabat gua satu-satunya, masa depannya akan hancur!”
“Maksud loe? Gua ngga ngerti!” Aku bertanya dengan kebingungan. Aku benar-benar tidak mengerti maksud ucapanmu saat itu.
“Gua ngga pengen loe melakukan sesuatu yang bisa merusak diri loe dan masa depan loe.”
“Tapi…Gua bukan anak kecil lagi!”
“Justru karena loe merasa diri loe bukan anak kecil lagi dan udah dewasa, loe akan melakukan hal-hal bodoh dan dengan seenaknya hanya dengan alasan loe bukan anak kecil lagi. Loe harus ingat, Kalau ada jalan yang disangka lurus tetapi ujungnya menuju maut. Ingat satu hal lagi, kalau jalan orang bodoh lurus dalam anggapannya sendiri tetapi siapa mendengarkan nasihat, ia bijak.”
Aku merenungkan ucapanmu. Aku berpikir dan menemukan satu kebenaran dari kalimat yang kamu sampaikan padaku. Detik berikutnya aku memberikanmu sebuah senyuman termanis yang pernah aku punya. Senyuman itu hanya untuk kamu seorang. Kamu mau bungkus senyuman itu juga ngga apa-apa kok!!! He…he…he…
“Kenapa loe mau menjadi sahabat gue?” tanyaku iseng karena tidak bahan pembicaraan lagi.
“Karena tidak ada orang yang mau menjadi sahabat loe. Makanya gua kasihan dan mau jadi sahabat loe.”
Aku langsung menonjok keras bahu kananmu.
“Auwww!!! Sakit tau. Kalo mukul, jangan yang keras-keras dong?”
“Kalo ngga keras tuh bukan mukul namanya tapi belaian.”
Spontan, kita berdua tertawa lepas.
“Alasan gue mau menjadi sahabat loe karena loe berharga bagi gue. Loe berharga hanya karena loe ada. Bukan karena apa yang loe lakukan atau apa yang telah loe lakukan tapi hanya karena diri loe sendiri apa adanya. Loe harus tau kalo loe adalah ciptaan Tuhan yang unik dan loe di ciptakan dengan sebuah tujuan.”
Sampai hari ini aku tidak tahu dari mana kamu yang masih 16 tahun menemukan kalimat itu. Tapi aku yakin itu lahir dari hati kamu yang paling dalam. Aku rindu mendengar suaramu dan mendengar setiap kata-katamu yang selalu menguatkanku. Aku tahu… Aku tidak akan pernah bisa mendengar suaramu yang berwibawa dan senyuman tipismu yang penuh ketenangan dan kedamaian. Tapi aku bisa merasakan kalau kamu selalu hadir dalam setiap kerinduanku. Kayak film India aja! He…he…he.. Aku yakin sebuah persahabatan tidak di batasi oleh ruang dan waktu.
#####

Dengan air mata yang terus mengalir aku memandangmu. Aku memegang tanganmu karena aku takut kamu pergi meninggalkanku. Inilah pertama kalinya aku merasakan ketakutan ketika berada di sisimu. Aku benar-benar seperti anak kecil yang takut di tinggalkan ibunya.
“Kenapa loe menangis?” kamu bertanya dengan lemah. Kamu berusaha mengumpulkan semua kekuatan yang kamu punya waktu itu hanya untuk berbicara denganku.
“Gua takut…”
Dengan cepat kamu memotong kalimatku. “Loe ngga usah takut. Ingat, keberanian adalah ketakutan yang telah mengucapkan doanya.”
Aku hanya bisa membayangkan saat itu, bagaimana harus menyambut sang fajar bila tidak melihat bola matamu yang lucu seperti boneka. Bukan cuma itu, siapa yang akan mentraktirku kalau aku lagi tidak punya uang? Ha…ha…ha…
“Ketika semua harapan pergi dan impian hilang bersama dengan hati loe yang kosong, loe harus ingat Tuhan akan berbicara melalui kesunyian bahwa “kamu tidak sendirian”. Ejekan hidup akan selalu ada. Sahabat terbaik loe menanti di dekat loe kalo saja loe butuh pertolongan. Itu bukan gue tapi Dia adalah Yang Maha Hadir. Dewa… Gua mau besok loe mengambil surat yang gua titip di nyokap gua.” Katamu lemah lalu tersenyum tipis. Detik berikutnya senyumanmu menghilang bersama dengan pejaman matamu.
“Nicholas!!!!!” Aku berteriak keras saat menyadari kamu sudah pergi selama-lamanya karena leukemia yang bersarang di tubuhmu.
“Loe ngga boleh pergi. Besok gue ulang tahun. Gue kan udah janji potongan pertama kue ulang tahun gue buat loe.”
Tidak ada yang bisa membendung isakan air mata dan teriakan histerisku. Hanya yang pernah mengalami kehilangan orang terdekat yang bisa memahami dan mengerti rasa “hilang” itu. Sampai hari ini, aku masih merasa kehilanganmu, sahabat.
#####

Aku masih ingat satu kejadian di lapangan basket sekolah.

Kamu bergegas menghampiri aku yang sibuk men-drible bola sendirian di hall basket.

“Dewa…Loe naksir Clarisa kan?” kamu bertanya setelah mendekatiku.

“Clarisa siapa?”
“Clarissa Tanoesoedibjo”

“Loe tau dari mana? Ngaco loe…”

“Mau tau aja. Pokoknya Ada deh!”

“Ha…ha…ha… Sembarangan aja loe. Jangan bikin gosip. Ntar fans-fans gua pada kabur semua.”
Kamu langsung cengar-cengir lalu merampas bola basket dari tanganku lalu kamu mendriblenya.
“Gua ngga marah kok kalau loe jujur dan mau ngaku. Menurut gua tuh anak emang cakep. Pantas aja di jadi kembang sekolah. Ha…ha… ha… Udah gitu gaul, baik dan  bertalenta lagi.  Satu lagi, dia suka nulis kayak loe tuh. Kayaknya dia cocok buat loe.”
Aku hanya diam.
“Loe mau ngga jadian ama Clarissa?” kamu bertanya degan tegas.
“Jadian? Yang benar aja! Loe jangan asal ngomong! Dia mah hanya sekadar teman sekelas aja.”
“Hei… Loe napa sih? Kok loe ngga mau jadian ama Clarissa. Tenang aja, gua bisa comblangin loe ama dia.”
“Nicho! Gua kenal loe bukan kemaren. Kita udah saling kenal sejak TK. Gua tau kalo loe juga naksir Clarissa kan?”
Kedua bola matamu menatapku dengan pandangan yang penuh keheranan dan takjub.
Bel sekolah berbunyi dan membuat anak-anak yang berada di hall basket segera membubarkan diri.
“Gua emang naksir dia sejak lama tapi gua akan mengalah buat loe.”
“Ngga! Biar gua yang ngalah!” Ucapmu.
“Yang benar aja loe?!! Kalo gitu kita tetap jomblo aja. Adilkan? Loe rugi, gue juga. Loe jomblo, gue juga.” Kataku mencoba memberi solusi.
“Ngga mau. Pokoknya, loe harus jadian ama Clarissa karena dia suka ama loe juga.”
Aku mentapmu. “Tapi…Bagaimana dengan loe?”
“Ngga usah dipikirin. Ntar gua ketemu juga ama bidadari yang lebih cantik di Surga!”
“Emang loe beli tangga berapa banyak buat ketemu bidadari loe di Surga sana?”
“Ha…ha…ha…”
Setelah itu aku langsung beranjak untuk meninggalkan lapangan basket tapi dengan cepat seperti kilat kamu mengacak rambut jabrikku lalu berlari kencang. Mendapatkan perlakuan seperti itu aku langsung mengejarmu sampai masuk ke dalam kelas.
“Ingat, nanti kalo gua jadian ama Clarissa bukan berarti dia pacar loe juga,” bisikku di kupingmu dengan ngos-ngosan saat duduk dibangku kelas.
#####

Aku berdiri terpaku di tengah-tengah kamarmu. Tidak ada yang berubah. Semuanya masih seperti yang dulu. Tdak terasa sudah 8 tahun kamu di Surga. Sementara aku disini melewati jalan kehidupan yang  panjang dan penuh dengan onak dan duri.
Aku sering bertanya, “di manakah letaknya Surga itu?” Aku ingin mengunjungimu di sana untuk melepaskan rasa rindu dan mendengar suaramu dan Xavier.
Nicholas… Belum ada yang bisa menggantikan posisimu dan Xavier sebagai sahabat dalam hidup ku selain Tuhan tentunya. Hari ini aku baru sempat datang ke kamarmu untuk mengambil kado ULTAH yang sudah kamu siapkan jauh-jauh hari sebelum kepergianmu. 
Pandanganku tertuju kamar mandi yang ada di sudut kamarmu. Ada satu memori yang tersimpan rapi di pikiranku.
“Dewa…Ngapain sih loe di dalam lama-lama?”
“Mandilah!”
“Kok lama banget! Buruan…”
“Sabar dikit kenapa sih?”
“Gua sih bisa sabar tapi nih perut ngga mau kompromi. Barengan aja ya? Gua udah ngga tahan nih!”
“Ngga mau!”
“Bukannnya waktu kecil kita sering mandi bareng?”
“Itu dulu. Sekarang ngga!!!!”
Dalam hitungan detik aku langsung keluar hanya dengan handuk. Dengan buru-buru aku bergegas menjauh dan kamu pun langsung masuk.
“DEWA!!!!!”
“Gua ngga tuli kali. Ngga usah pake teriak.”
“Loe habis BAB, kenapa ngga di siram?”
“Loh, bukannya loe nyuruh gue buru-buru. Saking buru-burunya, gua lupa! Di siramin aja. Anggap aja itu kayak punya loe. Ha…ha…ha…”
“Arrrghhhhhh…..”
#####


Aku menghampiri meja belajar mu dan melakukan hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku mengambil sebuah amplop berwarna biru muda yang bertulikan “ULTAH KE 24?.
Aku tidak pernah berhenti berpikir untuk apa kamu menulis surat yang begitu banyak untukku? Ada yang harus aku baca saat menikah, saat putus dari pacar, saat putus asa, saat menjadi seorang suami termasuk untuk setiap ulang tahunku.
Aku membuka amplop yang sudah ada di genggaman tanganku dan membaca isinya.
To : My best friend….
Happy birthday to you!!!
Loe udah 24 tahun ya sekarang! Ingat loe bukan anak kecil lagi. Loe adalah pria yang beranjak dewasa. Gua harap loe bisa menjadi pria yang dewasa dan matang. Pria yang terus menuju kepada  arah kesempurnaan meski manusia tidak ada yang sempurna. Oh…ya, Gua punya kado buat loe. Loe bisa mengambilnya di lemari biru samping lemari baju gua. Ambil yang bertuliskan “ULTAH KE 24?. Hanya itu yang bisa gua berikan buat loe. Gua yakin kado itu akan ada banyak manfaatnya. Yang pasti isinya bukan majalah playboy. Ha…Ha…Ha… Oh, ya… Selanjutnya pake kamu dan aku aja ya…. Biar enak bacanya…
Dewa…
Sadarilah bahwa hidup penuh dengan kejutan – kejutan, namun banyak diantaranya begitu menyenangkan. Jika kamu menghindarinya terus menerus, kamu akan kehilangan separuh dari kegembiraannya. Harapkanlah kejutan – kejutan itu dengan penuh gairah.
Ketika kamu bertemu tantangan – tantangan, sambutlah dengan suka cita. Mereka akan membuatmu lebih bijak, lebih kuat dan lebih mampu daripada sebelumnya. Saat kamu membuat kesalahan, bersyukurlah akan pelajaran yang diajarkannya. Pahamilah pelajaran – pelajarannya dan gunakan untuk membantumu meraih impian – impian hidupmu.
Dan.. selalu patuhilah hukum – hukum Tuhan. Saat kamu mengikuti hukum – hukumNya, hidupmu akan bertumbuh. Jika kamu pikir bisa mendapatkan lebih dengan melanggar hukum – hukumNya, kamu hanya membodohi dirimu sendiri.
Yang tak kalah pentingnya adalah membuat keputusan secara jelas dan pasti akan apa yang sesungguhnya benar – benar kamu inginkan dalam hidup ini. Selanjutnya biarkan pikiran dan perasaanmu fokus padanya dan lakukan usaha untuk mempersiapkan dirimu supaya layak menerimanya.
Namun bersiaplah juga untuk mengakhiri suatu masa dalam kehidupanmu untuk memasuki sebuah masa yang baru. Seperti halnya kamu tumbuh seiring waktu, kamu akan membutuhkan sepatu dengan ukuran yang lebih besar. Oleh karena itu persiapkan dirimu untuk sebuah akhir sebaik persiapanmu untuk menyongsong sebuah awal yang menantang.
Dewa….
Kadang kala kita juga harus berani berjalan dari suatu keadaan yang tidak asing menuju ke wilayah – wilayah yang asing dalam hidupmu. Hidup tidak hanya tentang mencapai sebuah puncak saja. Sebagian darinya adalah tentang bergerak dari satu puncak ke puncak berikutnya. Jika kamu terlalu lama beristirahat, maka kamu akan tergoda untuk berhenti dan keluar dari permainan. Tinggalkan masa lalu di masa lalu, Dakilah gunung berikutnya dan nikmati pemandangannya.
Ketika sebuah kemarahan, dendam, keyakinan, atau sikap menjadi berat, ringankanlah bebanmu. Buang semua hal yang membuatmu emosimu dan spiritualmu terpuruk. Buang semua sikap yang menyakitkan yang memperlambat jalanmu dan membuang – buang energimu.
Ingatlah bahwa keputusan – keputusanmu akan mengakibatkan kesuksesan – kesuksesanmu atau kegagalan – kegagalanmu. Oleh karena itu pertimbangkanlah diantara jalan – jalan yang ada di depanmu dan putuskan jalan mana yang akan kau tempuh. Kemudian percayalah pada dirimu, bangkitlah dan melangkahlah.
Jangan lupa untuk berhenti sejenak. Itu akan memberimu kesempatan untuk memperbarui komitmentmu terhadap impian – impianmu dan memperbaiki persepsimu terhadap hal – hal yang terbaik bagi dirimu.
Yang paling penting dari semua itu, pantang menyerah. Seorang yang akhirnya menjadi pemenang adalah seorang yang memutuskan untuk menang. Berikan dalam kehidupanmu apa yang terbaik yang kamu bisa dan kehidupan akan memberikan kembali hal yang terbaik padamu.
Sahabatmu….
Nicholas.
Selesai membaca surat tersebut aku langsung mencari kado yang telah kamu sediakan buatku. Dengan perlahan aku membuka bungkusannya dan menemukan sebuah buku berjudul “Love Sucks” yang telah ditandatangani langsung oleh pengarangnya, @BudiyantoParma dan koleksi foto kita bertiga bersama Xafier.
Aku terharu mendapatkan kado darimu. Aku akan menulis kisah-kisah tentang persahabatan kita, antara aku, kamu dan Xafier pada dunia. Biar dunia tahu kita pernah bersahabat sampai maut menjemput. Meski persahabatan kita berakhir dengan air mata duka.
#####
Terima kasih telah share kisah persahabatan ini lewat Twitter, Facebook, BBM dan lain-lain. Semoga menginspirasi!

Rabu, 16 Mei 2012

Pertolongan Allah Selalu Tepat Waktu


Siang itu terasa panas dan menyesakkan bagi akhwat ini. Bukan saja karena ia hidup di kota industri yang banyak pabrik dengan asap tebal memanaskan kota. Lebih dari itu, kini ia dihadapkan pada pilihan sulit. Ada lelaki yang hendak mengkhitbahnya. Yang menjadi masalah, lelaki itu tidak sesuai kriterianya. Belum tarbiyah. Hatinya bimbang. Ada ketakutan yang menghantui jiwanya jika ia menerima, lalu menjalani rumah tangga nantinya. Adakah ia sanggup memenangkan dakwah dan membawa suaminya pada hidayah. Atau justru ia kalah. Larut dalam kehidupan ammah, lalu menjadi penambah jumlah mereka yang berguguran di jalan dakwah paska nikah.

Menolak? Ini juga pilihan sulit. Sebab ia tahu jumlah kader ikhwan tidak banyak di kota tempat ia berdomisili. Apalagi ikhwan yang siap menikah. Mungkin itu juga yang menjadi alasan beberapa akhwat yang telah lebih dahulu menikah. Bukan dengan ikhwan. Sementara ia tidak dapat berdusta bahwa usianya semakin “dewasa”. Ah… ia jadi bimbang. Galau.

Dalam kebimbangan seperti ini, ke manakah kader dakwah melangkah? Dalam persimpangan jalan yang ia sendiri tidak tahu ke mana arah yang hendak ia pilih, kepada siapakah ia mempercayakan pilihan? Di sinilah iman berperan. Di persimpangan seperti inilah materi tarbiyah bekerja. Dari pemahaman menjadi pengamalan. Ia menyerahkannya kepada Allah.

Di atas kebimbangan memilih ia memiliki keyakinan bahwa Allah akan memilihkan yang terbaik baginya. Karenanya ia berdoa. Dalam gulita malam, ia menyalakan cahaya harapan. Di atas kekhawatiran apa yang akan menimpanya ia memiliki kepercayaan. Bahwa Allah akan memberikan pertolongan-Nya, menjawab problem yang kini dihadapinya. Karenanya ia bertawakal. Seraya meningkatkan taqarrub pada-Nya. Melengkapi asbabun nashr, agar pantas kiranya Allah merengkuhnya dengan pertolongan.

Belum sepekan galau itu menghimpit hari-harinya. Cahaya terang menyinari jalan di depannya. Ia bisa melihat jalan kebaikan seperti karpet merah yang dihamparkan persis di depan kakinya. Ke sanalah kakinya harus melangkah. Allah memberikan pertolongan-Nya tepat waktu. Bahkan, bukan antara memilih ya dan tidak. Allah memberikan alternatif ketiga. Ikhwan yang telah dikenalnya sebagai salah satu kader terbaik datang kepadanya. Tidak langsung memang, baru melalui data yang diterima dari murabbiyahnya. Saat ini, keduanya telah menjadi suami istri.

Seorang ikhwan. Ia baru saja mengundurkan diri dari sebuah pekerjaan. Kini ia kebingungan. Bukan karena sudah beberapa pekan belum memperoleh pekerjaan baru. Lebih dari itu, beberapa pekan lagi ia melangsungkan pernikahan. Bagaimana ia akan menafkahi istrinya nanti jika belum juga mendapatkan penghasilan? Dan bukankah salah satu muwashafat tarbiyah adalah qadirun ‘alal kasbi? Ia tidak bisa membayangkan seandainya mertuanya yang masih ammah mempersoalkan masalah ini di hari-hari pertamanya menjadi menantu, jika ia belum juga bekerja. Lalu ia kehilangan “izzah”? waktu terus berjalan dan kekhawatiran itu kian membesar.

Untunglah ia sadar. Di atas masalah yang besar, ia memiliki Allah yang Maha Besar. Keimanan pada akhirnya menggerogoti kekhawatirannya. Ia yakinkan kembali dirinya bahwa Allah Maha Pemberi rizqi. Bahkan binatang merayap seperti cicak pun tetap mendapatkan rizqi meskipun mangsanya adalah nyamuk bersayap. Dan begitulah. Pertolongan Allah selalu tepat waktu. Dua pekan sebelum akad nikah, ia kembali bekerja. Dan dengan mantap pada hari-H ia mengikrarkan perjanjian teguh membina keluarga. Saat itu, tidak ada suara lain yang lebih mengokohkan hatinya selain ucapan saksi, keluarga dan para tamu di sekitarnya: “saahhh!”

Bukan hanya seorang akhwat. Bukan hanya seorang ikhwan. Belasan orang. Ikhwan dan akhwat. Mereka panitia daurah. Publikasi sudah disebar, cukup banyak peserta yang telah mendaftar mengikuti acara tiga hari di luar kota ini. Yang menjadi masalah, acara tinggal tiga hari dan dananya masih kurang banyak. Mengandalkan shunduquna juyubuna dari panitia jelas memberatkan. Sebab mereka semua masih mahasiswa.

Namun mereka tak menyerah. Dan bukankah daurah ini adalah untuk rekrutmen dakwah? Ini fi sabilillah. Dan Allah pasti mendatangkan pertolongan-Nya. In tanshurullaaha yanshurkum. Maka di malam hari panitia berdoa. Bermunajat memohon pertolongan-Nya. Di siang hari ikhtiar dijalankan. Menelepon satu per satu perusahaan dan lembaga yang telah diberi proposal sebelumnya. Alhamdulillah, ada hasil dalam dua hari itu. Sejumlah dana didapatkan. Namun belum cukup juga.

Hingga… tinggal satu hari. Dan itulah saat pertolongan Allah tiba. Dari sebuah perusahaan yang sebelumnya belum pernah menjadi sponsor list maupun target, panitia mendapatkan kejutan. “Iya, Mas. Kami berpartisipasi”, kata salah seorang karyawan di balik telepon, “silahkan nanti diambil dengan membawa kwitansi. Kami membantu sekian juta”. Subhaanallah, Allah memberikan pertolongan-Nya. Di hari terakhir. Di saat yang tepat. Panitia bersyukur. Bukan hanya masalah dana selesai, daurah kali ini surplus.

Nashrun minallah. Pertolongan Allah. Ia selalu tepat waktu. Kadang di waktu yang kita duga dan kita harapkan. Sering pula ia datang pada saat-saat kritis, ketika hamba sangat membutuhkan. Namun keduanya adalah waktu yang tepat. Tepat menurut Allah. Tepat bagi kita, andaikan kita tahu. Tentu masih banyak contoh selain tiga kisah nyata di atas. Setiap kita insya Allah memiliki pengalaman tersendiri. Betapa kasih sayang Allah itu amat luar biasa. Dan pertolongan-Nya selalu tepat waktu.

Segala hal yang menimpa seseorang sebagai ujian, takkan lebih besar dari kemampuan orang itu untuk menanggungnya. Sebagaimana tugas dan kewajiban yang dibebankan Allah juga tak pernah melampaui batas kemampuannya. Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. “Ini merupakan pengarahan yang sangat bagus”, kata Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ketika sampai di surat Al-Baqarah ayat 286 ini, “untuk membangkitkan kembali himmah ‘hasrat dan semangat’ ketika melemah karena panjangnya perjalanan. Ini juga merupakan pendidikan dan penjagaan terhadap ruh si mukmin, himmahnya, iradahnya, di samping membekali penggambarannya terhadap hakikat kehendak Allah dalam setiap hal yang ditugaskan kepadanya.”

Kaidah batas kemampuan ini juga memastikan bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya memasuki ujian yang di luar batas kemampuannya, kecuali Ia berikan pertolongan sebelumnya: terkadang jauh sebelum batas maksimal, kadang ketika tinggal selangkah lagi batas itu tercapai. Tapi itu selalu bermuara pada satu kesimpulan: pertolongan Allah selalu tepat waktu.

Jika kita merasa saat ini tengah menghadapi problematika yang sulit dan rumit, dan Allah belum jua menurunkan pertolongan-Nya, yakinlah bahwa kita masih kuat menanggungnya. Dan sejalan dengan kesabaran, Allah mengampuni dosa dan meninggikan derajat kita. Pada titik seperti ini boleh jadi kita merasa doa-doa kita tidak dikabulkan. Di sinilah ujiannya. Jika kita putus asa lalu tidak berdoa lagi, doa kita benar-benar tidak akan dikabulkan. Lalu kita semakin jauh dari-Nya. Padahal itu belum waktu yang tepat bagi Allah untuk menolong kita.

“Bukankah Rasulullah SAW telah diberi kemenangan di Perang Badar, namun telah diperlakukan sebagai orang yang dikalahkan di Perang Uhud?” kata Ibnu Al Jauzi dalam Shaid Al Khatir, “Bukankah beliau telah dihalangi untuk menunaikan ibadah di Baitullah, tetapi kemudian diberi kesempatan untuk menguasainya? Baik dan buruk mesti ada. Sesuatu yang baik menuntut lahirnya syukur, sedang sesuatu yang buruk menuntut munculnya permintaan dan doa. Tapi jika doa yang telah dipanjatkan tak jua dikabulkan, kita mesti tahu bahwa Allah Azza Wa Jalla hendak memberikan ujian dan ingin melihat kepasrahan kepada ketetapan-Nya.”

Ketika ujian dilalui dengan kesabaran,ikhtiar, doa, dan tawakkal… ketika itulah pertolongan-Nya datang. Kalau tidak, pastilah di saat terakhir, ketika satu langkah lagi seorang mukmin tak kuasa menahan beratnya beban ujian itu, tak mampu menanggung rumitnya problematika yang dihadapi, di saat itulah Allah menganugerahkan pertolongan. Sebab, pertolongan-Nya selalu tepat waktu. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]
 
http://www.bersamadakwah.com

Jagalah Diri dan Keluargamu


“Begini, Pak ustadz,” pejabat pemda itu mulai mengutarakan maksudnya, “teman saya malu karena anaknya hamil di luar nikah. Pacar yang menghamili anaknya lari, tak mau tanggung jawab. Sebenarnya teman saya ingin status saja, agar tidak malu. Asal ada yang mau menikahi, nanti dicerai tidak apa-apa. Ia malu kalau tetangganya ngrumpi anaknya hamil tanpa suami, apalagi kalau ia tidak bisa mendapatkan akta kelahiran karenanya…”

Hamil di luar nikah kini bukan hal yang langka lagi. Dan jika itu telah terjadi pada anak, orang tua baru malu, orang tua baru sadar bahwa selama ini ia gagal. Gagal mendidik putrinya, gagal menjaga anaknya. Atau bahkan, ia baru sadar bahwa selama ini ia tidak benar-benar menjaga anaknya; dari dosa yang mengantarkan menuju api neraka.

Menjaga anak dari api neraka, sejatinya adalah tugas orang tua. Khususnya, saat anak itu masih dalam tanggungjawabnya.

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim : 6)

“Sesungguhnya beban tanggungjawab seorang mukmin dalam dirinya dan keluarganya,” kata Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an ketika menjelaskan ayat ini, “merupakan beban yang sangat berat dan menakutkan. Sebab, neraka telah menantinya di sana, dan ia beserta keluarganya terancam dengannya. Maka, merupakan kewajibannya membentengi diri dan keluarganya dari neraka yang selalu mengintainya.”

Lalu bagaimana kita menjaga mereka, buah hati kita? “Didiklah dan ajarilah mereka,” kata Ali bin Abu Thalib, seperti dikutip Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini. Ya, caranya adalah mentarbiyah mereka sejak dini. Agar mereka takut kepada Allah. Agar mereka beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Agar mereka malu kepada-Nya.

Jika anak-anak telah memiliki rasa takut kepada Allah, mereka tak perlu lagi takut kepada kita untuk menjauhi dosa. Takut kepada orangtua, mungkin efektif ketika secara fisik orangtua hadir di depannya. Namun ketakutan itu tak mampu menghalanginya untuk berbuat maksiat secara sembunyi-sembunyi atau jauh dari pantauan orang tua. Berbeda dengan itu, takut kepada Allah tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Karena Allah Maha mengetahui dan senantiasa terjaga. Takut kepada Allah membuatnya tak berani melakukan kemaksiatan baik di rumah atau di luar rumah, baik sendiri maupun berjamaah.

Jika anak-anak telah tumbuh keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah, cukuplah itu menjadi perisai baginya dari segala hal yang mendatangkan azab dan menyeret ke neraka. Ia lebih ampuh dari pemahaman bahwa seks bebas bisa mengakibatkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bahkan keimanan dan ketaqwaan membuatnya dengan tegas berkata “tidak!” untuk berpacaran.

Jika jiwa anak-anak telah dihiasi rasa malu kepada Allah, ia tak mungkin membuat orang tuanya malu karena memiliki cucu tanpa menantu. Rasa malu kepada Allah bahkan jauh lebih hebat dari rasa malu kepada orang tua dan tetangga. Sebab ia yakin Allah mengetahui segala-galanya, hingga detak pikiran dan bersit hatinya.

Kendala bagi banyak orang tua adalah keterbatasannya untuk mentarbiyah anak-anaknya. Ia tak bisa mengajari dan membina putrinya, sebagaimana ia sendiri tak mendalam ilmu agamanya. Sebagai solusinya, orang tua harus mentarbiyah anaknya sesuai kemampuannya, sambil ia juga terus belajar Islam lebih dalam dan segera mentransfer dengan cara terbaik kepada anak-anaknya. Di samping itu, orang tua memilihkan pendidikan yang mampu mentarbiyah anaknya dengan tarbiyah Islamiyah. Ini bisa berupa pesantren, sekolah Islam, atau majelis taklim. Mengikutkan anak-anak sejak dini agar aktif dalam halaqah, juga perlu dilakukan. Itu salah satu sarana efektif, di mana anak-anak kita dibimbing dan dibina oleh murabbi/yah yang akan mentarbiyahnya sama, atau bahkan lebih dari, anak kandung sendiri. [AM09]
 
http://www.bersamadakwah.com

Ayo Semangat!


Semangat pagi!
Pagi-pagi tetap semangat!


Salam khas Trustco itu memang penuh semangat. Kata setelah "semangat" bisa diganti dengan kondisi saat ini; siang, sore, malam, panas, dingin, hujan, dan seterusnya. Dan jawabannya adalah, mengulang kata itu dua kali, lalu meneruskannya dengan "tetap semangat."

Sejatinya, semangat adalah wujud azzam dalam diri kita untuk meraih apa yang kita cita-citakan. Semangat adalah energi yang melahirkan kekuatan untuk mengatasi segala rintangan. Semangat adalah faktor penting untuk menjawab setiap tantangan kehidupan.

"Banyak orang tahu bahwa semangat adalah kunci kesuksesan," kata Ustadz Ahmad Arqom dalam buku terbarunya, "tapi tidak banyak yang tahu bagaimana menjaga semangat itu."

Salah satu cara alami mempertahankan semangat adalah dengan memunculkan kembali kesadaran. Kesadaran bahwa kita memiliki misi dalam hidup ini. Kesadaran bahwa kita akan menjadi mulia dan berharga di hadapan-Nya, tatkala kita memerankan diri menggapai misi itu. Dan misi itu hanya akan kita raih jika kita dalam kondisi semangat!

Itulah mengapa kita mendapati para Nabi dan Rasul adalah orang-orang yang paling bersemangat. Nabi Nuh, misalnya. Ia mendakwahkan risalah hingga 950 tahun. Sebuah waktu yang sangat lama, tetapi dilewati Nabi Nuh dengan semangat. Ia tetap berdakwah siang dan malam sepanjang 9,5 abad itu meskipun yang menyambut seruannya hanya beberapa orang.

Nabi kita Muhammad juga tidak kalah semangatnya. Ia senantiasa mendakwahkan Islam sejak diperintah "yaa ayyuhal muddatsir, qum fa 'andzir!". Maka menghadapi resiko cela, luka dan nyawa akibat permusuhan kafir Quraisy pun beliau hadapi. Jauhnya jarak ke Thaif beliau tempuh dengan jalan kaki. Demi hijrah, Madinah yang perjalanan ke sana sangat berbahaya dan berhari-hari lamanya beliau datangi. Bahkan menurut sahabat Jabir, selama 10 tahun di Madinah Rasulullah terjun berperang sebanyak 21 kali.

Kesadaran itu mampu menjaga semangat agar tetap menyala dalam jiwa. Sebab kesadaran itu membawanya pada pemahaman bahwa menuai keberhasilan itu laksana pasir spesial yang masuk ke mantel kerang. Lalu kerang membungkus pasir spesial itu dengan lendir khususnya. Konon, dibutuhkan sedikitnya empat tahun untuk mengubah pasir tadi menjadi mutiara. Demikian pula semangat, ia harus terus menyala, bahkan bukan hanya untuk masa empat tahun. Berpuluh-puluh tahun. Hingga Allah menentukan takdir kita dengan mengirim malaikat maut untuk menjemput. Meraih cita-cita, apalagi cita-cita besar, semangat harus terus bertahan. Kita terus semangat, karena kerasnya perjuangan kita hari ini laksana proses pembungkusan pasir yang suatu saat ini akan berubah menjadi mutiara.

Kesadaran itu juga membuat kita memahami bahwa usaha keras kita saat ini laksana membentuk perhiasan emas yang indah. Ada proses pembakaran atau peleburan yang sangat panas. Ada proses pembentukan dengan tekanan yang sangat tinggi. Ada proses pembersihan yang mengakibatkan pengelupasan. Prosesnya lama, berat dan susah, tapi berakhir dengan munculnya perhiasan emas yang indah.

Demikian pula usaha dan amal kita. Ia rumit, berat, butuh waktu lama. Tetapi semangat tetap harus menyala, hingga akhir yang indah menjadi milik kita. Sukses di dunia, sukses pula di akhirat sana. Bahagia di dunia, bahagia abadi di surga. Bukankah itu yang kita cita-citakan bersama? So, ayo semangat! [Muchlisin]

Selasa, 15 Mei 2012

Surat Dari Seorang Ibu Yang Terkoyak Hatinya


Anakku….Ini adalah surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku sebelumnya.

Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus perubahan psikis dan fisik. Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi kebahagiaanku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat didepan mataku saat aku melahirkanmu.

Jeritan tangismu meneteskan air mata kegembiraan kami. Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat. Kepenatanku demi kesehatanmu.Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada Ibu untuk membuatkan sesuatu. Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat,

Aku pun berikhtiar untuk mencarikan gadis yang akan mendampingi hidupmu. Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu, namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.

Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu. Hak diriku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali, jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit saja untuk melihat anakku.

Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan. Anakku…Seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan berterima kasih kepadanya. Sementara Ibu telah sekian lama berbuat baik kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada Ibu ? Apakah engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada Ibu ? Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan mengunjungi Ibu ?

Baiklah, anggap Ibu sebagai pembantu, mana upah Ibu selama ini ? Anakku.. Ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan ? Ibu tidak tega untuk mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukumanpun akan menimpamu di dunia ini sebelum di akhirat.

Ibu tidak akan sampai hati melakukannya, Anakku… Walaupun bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan cahaya diriku…Anakku…Perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang Ibu alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang yang menggugat.

Anakku..Takutlah engkau kepada Allah karena kedurhakaanmu kepada Ibu. Sekalah air mata ibu nak, ringankanlah beban kesedihan ibu. Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini.

Ketahuilah, “Barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri. Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya sendiri”. Anakku…Ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau mati. Darah persalinan, itulah nyawa Ibu.

----------------------------------------------------------------------------------------
“Wahai, Rabbku, ampunilah aku dan kedua orangtuaku, sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka menyayangiku waktu aku masih kecil”.

Sumber: http://situslakalaka.blogspot.com/2011/03/surat-dari-seorang-ibu-yang-terkoyak.html

Posted By A.H

Jadikanlah Ia Bidadari Ayah



“Horee ayah beli mobil baru, hore ayah beli mobil baru, horee.....” teriak Dina, bocah kecil berusia lima tahun itu berjingkrak-jingkrak kegirangan, kemudian ia melompat-lompat dan berlarian mengitari sebuah mobil tipe baru berwarna silver mengkilap yang terparkir di carport depan rumah yang cukup luas itu.

Sekali-kali ia memeluk mobil itu seperti memeluk boneka mainannya. Sementara sang istri duduk di depan kemudi mencoba menghidupkan dan mematikan mesin mobil itu sambil memperhatikan semua interior mobil dengan seksama, takut ada cacat sedikitpun barang yang ia terima, mumpung sang pengantar mobil masih ada di sini, menyerahkan tanda terima barang plus semua asesories mobil kepadanya.

Ya, hari itu sang suami berhasil memenuhi keinginannya untuk memiliki mobil sendiri, memang bukan mobil mewah tapi cukup bergengsi untuk dimiliki oleh pasangan muda seperti dirinya, mobil sedan toyota Vios tipe G, seharga dua ratus jutaan rupiah.

Rani, sang istri merasa bahagia sekali, sebab keinginannya untuk pergi bekerja membawa mobil sendiri terkabulkan sementara sang suami hanya tersenyum kecut mengingat cicilan yang akan dibayarnya beberapa bulan kedepan.

Sebenarnya Hadi, sang suami enggan untuk membeli mobil itu pada tahun-tahun ini, mengingat kebutuhan dan penghasilannya masih belum cukup untuk menyicil mobil baru, belum lagi ia harus mencicil rumah baru yang cukup luas yang dibelinya dua tahun lalu.

Tapi kecintaannya pada sang istri membuatnya mengambil keputusan itu, apapun resikonya. Ia memang sudah berjanji kepada istrinya tentang dua hal jika ingin menikahinya, rumah luas dan mobil dan janji itu sudah lunas ia tunaikan, meski ia harus menelan ludah dalam-dalam.

Hadi bersandar di samping pintu rumah, dari kejauhan matanya berbinar menatap kegembiraan anak dan istrinya, sesekali ia menarik nafas dan mendesah dalam-dalam, ia berusaha tersenyum saat istrinya melambai meminta komentar dirinya tentang mobil itu.

Senyum yang berat yang harus ia kulum, seberat janjinya kepada sang istri, seberat beban kehidupan rumahtangga yang ia tanggung sendiri.

Pikiran Hadi menerawang kembali ke masa silam, masa dimana ia bertemu dengan Rani, seorang gadis pujaan para mahasiswa kampusnya, yang ia sendiri tidak mengerti mengapa ia nekat memperistri sang primadona itu.

Perkenalan Rani dan Hadi terjadi ketika mereka sama-sama kuliah di jurusan dan fakultas yang sama di universitas terkenal di Jakarta, keduanya pun melalui jalur masuk mahasiswa baru yang sama yakni PMDK.

Rani yang pintar dan cantik menjadi idola di kampusnya dan Hadi termasuk salah satu penggemarnya, meski hanya dalam hati. Bagi Hadi, mengingat Rani pada masa lalu, seperti mengingat sejarah masa silam yang tak mungkin bisa kembali, Rani yang dulu dikenal selama masa kuliah ternyata telah banyak berubah apalagi setelah lulus kuliah dan bekerja pada bank swasta nasional.

Dulu semasa kuliah Rani dikenal sebagai gadis bersahaja, tidak glamour dan tidak neko-neko. Ia supel dan mudah bergaul dengan siapa saja. Meski banyak pria yang jatuh cinta padanya, tapi tak satupun yang ia tanggapi, alasannya, ia tidak mau kisah cinta mengganggu kuliahnya, semua dianggap teman biasa saja.

Sikap Rani yang acuh terhadap asmara memang dilatar belakangi oleh kehidupan keluarganya yang amat sederhana bahkan bisa dibilang miskin sama seperti latar belakang dirinya, untuk itu Rani berniat kepada dirinya sendiri untuk tetap fokus pada kuliah dan karir, agar ia bisa menaikan taraf hidup keluarganya, bagi Rani kemiskinan harus menghilang dari kamus hidupnya, apapun caranya itu.

Karena sikap Rani yang cuek dan acuh itu, akhirnya banyak para pemuda yang mundur, hanya Hadi yang terus memantau, meski hanya dari jarak jauh.

Selepas kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan tetap, Hadi memberanikan diri untuk mengkhitbah Rani, tapi Rani menolaknya, karena ia menginginkan cowok yang sudah mapan, bahkan tanpa tedeng aling-aling ia mengatakan bahwa calon suaminya harus sudah mempunyai rumah luas dan bermobil pula.

Akhirnya ia hanya minta waktu kepada Rani untuk mewujudkan semua itu dalam waktu tiga tahun. Tetapi Rani tetap enggan, hingga akhirnya Rani memilih calon lain yang sudah mapan, yakni seorang PNS pada departemen keuangan. Jadilah Hadi sedih bukan kepalang, ia hanya bisa meratapi nasibnya yang miskin dan papa.

Cinta yang disimpannya di sudut hati dan dirawatnya hingga mekar selama lima setengah tahun, kini layu bagai disiram air panas, menyisakan pedih dan perih, merontokkan mimpinya dan mengubur dalam-dalam angan dan khayalnya.

Perjuangan mempertahankan rasa cinta harus berakhir sebelum ia sanggup menahan beban kekalahan, sebelum ia sanggup menahan kekecewaan bahwa rencananya tidak semulus yang ia inginkan. Angannya yang terlalu tinggi ingin menikahi gadis pujaan membawanya terbang kealam mimpi yang menyakitkan.

Padahal, ia merasa yakin, kehidupan asmaranya akan diridhai Allah, karena ia tidak pernah melakukan perbuatan melanggar batas pergaulan lawan jenis, boro-boro bersentuhan tangan, menatap wajah perempuan saja ia tidak sanggup, apalagi berpacaran layaknya anak muda jaman sekarang. Haram, itulah yang terpatri dalam hatinya.

Semenjak ditolak Rani, Hadi mulai memperbaiki ibadahnya, mungkin kemarin ia merasa Allah belum berkenan memberikan rezeki kepadanya karena ibadahnya belum maksimal dan keikhlasannya belum terbukti, selama ini ia beribadah agar Allah mengijinkan ia menikah dengan Rani, begitu selalu doa yang ia panjatkan dalam setiap kesempatan, tapi kini hatinya mulai sadar, keikhlasan dirinya mulai menggumpal.

Ia tak lagi beribadah karena mengharapkan balasan, tapi semata-mata lilahi taala. Kini hatinya lebih tenang dan jiwanya lebih damai, ia pasrahkan jodohnya ke ilahi robbi, siapapun itu.

Dalam kepasrahan dan keikhlasan, Tuhan selalu mendengar doa hamba-hambanya, enam bulan setelah ia ditolak Rani, ternyata calon suaminya membatalkan pernikahan dengan Rani, tanpa alasan yang jelas, rumor yang ia dengar sang calon lebih memilih sekolah lagi di luar negeri atas biaya dinas dan dilarang menikah dahulu tanpa seijin atasannya.

Perasaan Hadi bingung mendengar kabar itu, apakah harus sedih atau gembira. Yang jelas, mendengar kabar itu menggumpalkan kembali butiran-butiran semangatnya yang sempat hancur berkeping-keping, merajutkan kembali remah-remah asmaranya kepada sang pujaan hati.

Esoknya, ia kembali mendatangi kediaman Rani dan bertemu dengan orangtuanya untuk melamar Rani. Orangtua Rani yang merasa malu atas pembatalan nikah sebelumnya, langsung menyetujuinnya, sedang Rani, meskipun setuju, ia masih tetap dengan syaratnya itu, yakni rumah cukup luas dan mobil, meski akhirnya bisa ia sanggupi enam tahun kemudian setelah pernikahan mereka.

Kini dengan hadirnya mobil sedan di garasi rumah itu, semua syarat istrinya telah ia penuhi, hatinya sangat bahagia meski semua itu ia penuhi dengan tetesan keringat dan darah, dengan luka dan airmata, dengan tebal muka dan pinggang patah-patah.

Bagaimana tidak, ia di-deadline oleh istrinya harus mengumpulkan uang ratusan juta dalam waktu lima tahun untuk mewujudkan semua itu. Ia terpaksa bekerja bagai mesin, pagi sampai malam, belum lagi mencari tambahan pada hari libur.

Kadang ia harus menebalkan muka untuk mencari hutangan untuk menutupi DP pembelian kedua asset itu yang nilainya pun tidak sedikit. Kadang harus bekerja sampai larut malam mencari sambilan mengerjakan proyek kecil-kecilan.

Pada tahun-tahun pertama ia tak perduli, tapi menginjak tahun keempat, ia mulai tidak kuat, semua energinya sudah terkuras habis, tapi hasil yang didapat belum seberapa. Nasib baik masih belum berpihak kepadanya.

Di saat gundah gulana seperti itu, pada saat keheningan malam memeluk erat sang waktu, bersamaan dengan saat Hadi pulang bekerja, Hadi hanya bisa duduk mematung di teras rumah, tak tega membangunkan istrinya yang telah lelap tertidur bersama sang bocah.

Sejumput kemudian ia melangkah menuju keran di pinggir carport dan mengambil wudhu untuk menghilangan kelelahan jiwa dan raganya, lalu ia sholat dua rakaat di teras rumah dan meneruskan dengan tangisan penuh harap kepada sang pencipta sampai ia tertidur di sajadahnya, begitu seterusnya yang ia lakukan setiap malam sampai azan subuh terdengar dan udara dingin menusuk-nusuk tulangnya, membangunkan dirinya yang terlelap di beranda rumah. Barulah kemudian ia membangunkan istrinya untuk menyiapkan sarapan pagi dan bersiap berangkat lagi, sang istri, hanya mengetahui bahwa suaminya pulang pagi karena sibuk mencari nafkah.

Demi cintanya pada sang istri, Hadi terpaksa bekerja siang malam tanpa henti, demi sebuah janji yang harus ditunaikan, ia relakan dirinya bersakit-sakitan, demi keutuhan keluarganya yang ia banggakan, terpaksa ia gadaikan separuh nafasnya demi kebahagiaan orang yang sangat dicintainya itu. Ia lakukan semuanya itu dengan ikhlas, demi sang bidadari pujaan hatinya.

Kehidupan mengalir mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, hanyut bersama cita-cita, mimpi dan angan-angan manusia. Dengan bermodalkan sebongkah harapan, bekal keimanan dan jala asa, mereka mengayuh bahtera rumah tangga menyelusuri sungai kehidupan itu, seraya berharap tiba ditujuan dengan selamat. Tapi takdir Allah jualah yang menentukan roda kehidupan mereka, tanpa seorang manusiapun yang sanggup mengetahuinya.

Karena bekerja terlalu keras, Hadi jatuh sakit, ia terserang lever akut, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dokter yang merawatnya hanya menyarankan agar ia mengikhlaskan semuanya, supaya penyakitnya tidak bertambah parah, ia paham apa maksud pernyataan dokter, sebab dokter tidak akan membohongi pasiennya yang tidak sanggup ia tangani.

Dalam lirih suara, hadi memanggil istrinya, yang tampak begitu terpukul akan kondisi hadi, ia hanya bisa menangis sesenggukan. "Rani sayangku" panggilnya, "ya sayang aku di sini di sampingmu.." jawab Rani, "dari hati yang paling dalam aku sangat mencintai kamu, aku sangat menyayangi kamu", Hadi berbisik lemah, "ya sayangku aku tahu itu, cintamu padaku tak pernah aku ragukan" Hibur Rani, "izinkan aku bicara sebentar saja, aku khawatir jika aku menundanya aku tak bisa lagi berbicara denganmu."

Kemudian, Hadi berkata dengan perkataan yang membuat tubuh Rani semakin tak berdaya, ia hampir kehilangan keseimbangan, tapi berusaha untuk mendengar lantunan suara suaminya yang semakin lirih, "Sayangku Rani, sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah menyisakan ruang kosong di sudut hatiku untuk dirimu, aku jaga jangan sampai ia terisi oleh yang lain, dan aku simpan rapat-rapat sampai aku yakin bahwa aku siap untuk melamar dirimu. Keyakinanku atas dirimu begitu kuat, kesabaranku menantimu begitu dalam, meski di tengah jalan aku sempat terluka karena rupanya aku hanya bertepuk sebelah tangan."

Hadi berhenti sejenak, ia memperhatikan kelopak mata istrinya yang makin penuh dengan airmata, airmata penyesalan karena pernah menolak manusia yang begitu sabar dan telaten menyayanginya.

Hadi meneruskan ucapannya, "Tapi sayangku, ternyata Allah sangat sayang kepadaku, ia mengembalikanmu kepadaku diriku lagi, bahkan menjadikan dirimu belahan jiwaku hingga engkau bisa menemaniku di sini, di saat-terakhirku ini, sayangku, hanya satu permintaanku, aku ingin engkau menjadi bidadariku di dunia dan akhirat, meski aku tahu, setelah kepergianku, engkau bebas memilih kembali pangeranmu, memilih orang yang akan mendampingimu meneruskan sisa-sisa hidupmu."

"Sayangku, tapi aku sudah sangat puas atas nikmat yang Allah berikan kepadaku selama ini, selama aku menjadi suamimu. Memilikimu merupakan anugerah terbesar dalam hidupku, maka demi menghargai anugrah itu akupun melakukan apapun demi kebahagiaanmu. Jika Allah berkehendak lain, percayalah itu sudah menjadi takdir antara kita dan aku tak pernah menyesal menikahimu."

"Sayangku ketika lidah ini masih bisa berucap, maka aku berucap kepadamu, maafkanlah atas kesalahanku selama ini, maafkan aku yang memaksamu menjadi belahan jiwaku, meski aku tak bisa memenuhi harapan-harapanmu. Jangan kau sesali pernikahan kita, sebab aku bangga dengan apa yang telah kita lakukan bersama, jaga dan rawatlah baik-baik anak kita, sampaikan salam kepadanya bahwa ayah hanya pergi sebentar, menunggu kalian dipintu surgaNya nanti."

Rani tak kuasa mendengar kelanjutan lirihan suara suaminya, rasa bersalah menusuk hatinya dalam-dalam, ia terlalu egois, ia terlalu naif, memaksakan beban kehidupan dirinya ditanggung suaminya sendiri, ia yang trauma terhadap kemiskinan, memaksakan kompensasinya ke orang yang begitu baik kepadanya, yang begitu sayang kepadanya, ia begitu otoriter.

Sebelum habis Hadi bicara, Rani sudah tak ingat apa-apa lagi, rasa sesal yang dalam ditambah rasa takut kehilangan membuat syaraf kesadarannya terlepas perlahan, ia pingsan di samping tubuh suaminya, yang makin lama suaranya makin tak terdengar, hanya suara "maafkan aku sayang, maafkan aku..., maafkan aku sayang..." yang muncul bergantian dengan kalimat tasbih, tahlil dan tahmid.

Terus berucap hingga hembusan nafas berhenti, dan jantung tak lagi berdetak. Hanya airmata terlihat mengalir dari kelopak mata sang suami, meski bibir tersenyum puas karena sudah memberikan yang terbaik untuk orang yang paling disayanginya.

Hampir dua jam Rani pingsan di sisi suaminya, yang kini telah menjadi jenazah. Saat ia terbangun, Rani belum menyadari, ia terus menangis seraya memohon maaf kepada suaminya atas sikapnya selama ini, sampai kedatangan dokter yang menyadarkan Rani bahwa suaminya telah pergi untuk selama-lamanya.

Nasi telah menjadi bubur, tetapi pintu maaf dari sang pencipta masih terbuka lebar. Rani yang telah menyadari bahwa kebahagiaan bukan hanya kekayaan, dan kemiskinan bukanlah suatu aib, kini perlahan mulai meluruskan jalan hidupnya, dan ia bertekad akan merawat anak semata wayangnya sendiri.

Empat puluh tahun kemudian di sebuah pusara yang masih basah, seorang wanita berjilbab masih tercenung di hadapan makam ibunya, perempuan itu, Dina, masih mendoakan ibu dan ayahnya agar dipertemukan kembali di surga.

Ia adalah harapan orangtuanya yang tersisa, yang melempangkan jalan pertemuan mereka kembali sebagai pasangan abadi, doa dari anak yang shaleh, yang menjadi pelipur lara kedua orang tuanya.

"Ya Allah ya Rabbi, ampuni kedua orang tua kami, dan kabulkan permintaan ibu yang sering ia ceritakan kepadaku, melanjutkan mendampingi ayah kami di surgaMu, dan jadikanlah ia bidadari ayahku, amin."

Sumber: http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/jadikanlah-ia-bidadari-ayah.html

Posted By A.H

Bapak, Dampingilah Aku Selamanya..


Disebuah rumah sederhana yang asri tinggal sepasang suami istri yang sudah memasuki usia senja. Pasangan ini dikaruniai dua orang anak yang telah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri yang mapan. Sang suami merupakan seorang pensiunan sedangkan istrinya seorang ibu rumah tangga.

Suami istri ini lebih memilih untuk tetap tinggal dirumah mereka menolak ketika putra-putri mereka menawarkan untuk ikut pindah bersama mereka. Jadilah mereka, sepasang suami istri yang hampir renta itu menghabiskan waktu mereka yang tersisa dirumah yang telah menjadi saksi berjuta peristiwa dalam keluarga itu. Suatu senja ba’da Isya disebuah mesjid tak jauh dari rumah mereka, sang istri tidak menemukan sandal yang tadi dikenakannya kemesjid tadi. Saat sibuk mencari, suaminya datang menghampiri

“Kenapa Bu?” Istrinya menoleh sambil menjawab “Sandal Ibu tidak ketemu Pa”. “Ya udah pakai ini saja” kata suaminya sambil menyodorkan sandal yang dipakainya. walau agak ragu sang istri tetap memakai sandal itu dengan berat hati. Menuruti perkataan suaminya adalah kebiasaannya. Jarang sekali ia membantah apa yang dikatakan oleh sang suami.

Mengerti kegundahan istrinya, sang suami mengeratkan genggaman pada tangan istrinya.

“Bagaimanapun usahaku untuk berterimakasih pada kaki istriku yang telah menopang hidupku selama puluhan tahun itu, takkan pernah setimpal terhadap apa yang telah dilakukannya. Kaki yang selalu berlari kecil membukakan pintu untuk-ku saat aku pulang, kaki yang telah mengantar anak-anakku ke sekolah tanpa kenal lelah, serta kaki yang menyusuri berbagai tempat mencari berbagai kebutuhanku dan anak-anakku”.

Sang istri memandang suaminya sambil tersenyum dengan tulus dan merekapun mengarahkan langkah menuju rumah tempat bahagia bersama….Karena usia yang telah lanjut dan penyakit diabetes yang dideritanya, sang istri mulai mangalami gangguan penglihatan. Saat ia kesulitan merapikan kukunya, sang suami dengan lembut mengambil gunting kuku dari tangan istrinya.

Jari-jari yang mulai keriput itu dalam genggamannya mulai dirapikan dan setelah selesai sang suami mencium jari-jari itu dengan lembut dan bergumam “Terimakasih”.

“Tidak, Ibu yang terimakasih sama Bapak, telah membantu memotong kuku Ibu” tukas sang istri tersipu malu. “Terimakasih untuk semua pekerjaan luar biasa yang belum tentu sanggup aku lakukan. Aku takjub betapa luar biasanya Ibu. Aku tau semua takkan terbalas sampai kapanpun” kata suaminya tulus.

Dua titik bening menggantung disudut mata sang istri “Bapak kok bicara begitu?

Ibu senang atas semuanya Pa, apa yang telah kita lalui bersama adalah luar biasa.

Ibu selalu bersyukur atas semua yang dilimpahkan pada keluarga kita, baik ataupun buruk. Semuanya dapat kita hadapi bersama. Hari Jum’at yang cerah setelah beberapa hari hujan. Siang itu sang suami bersiap hendak menunaikan ibadah Shalat Jum’at,

Setelah berpamitan pada sang istri, ia menoleh sekali lagi pada sang istri menatap tepat pada matanya sebelum akhirnya melangkah pergi. Tak ada tanda yang tak biasa di mata dan perasaan sang istri hingga saat beberapa orang mengetuk pintu membawa kabar yang tak pernah diduganya.

Ternyata siang itu sang suami tercinta telah menyelesaikan perjalanannya di dunia. Ia telah pulang menghadap sang penciptanya ketika sedang menjalankan ibadah Shalat Jum’at, tepatnya saat duduk membaca Tahyat terakhir. Masih dalam posisi duduk sempurna dengan telunjuk kearah Kiblat, ia menghadap Yang Maha Kuasa.

“Subhanallah sungguh akhir perjalanan yang indah” gumam para jama’ah setelah menyadari kalau dia telah tiada. Sang istri terbayang tatapan terakhir suaminya saat mau berangkat kemesjid.

Terselip tanya dalam hatinya, mungkinkah itu sebagai tanda perpisahan pengganti ucapan selamat tinggal. Ataukah suaminya khawatir meninggalkannya sendiri didunia ini. Ada gundah menggelayut dihati sang istri. Walau masih ada anak-anak yang akan mengurusnya, Tapi kehilangan suami yang telah didampinginya selama puluhan tahun cukup membuatnya terguncang. Namun ia tidak mengurangi sedikitpun keikhlasan dihatinya yang bisa menghambat perjalanan sang suami menghadap Sang Khalik.

Dalam do’a dia selalu memohon kekuatan agar dapat bertahan dan juga memohon agar suaminya ditempatkan pada tempat yang layak. Tak lama setelah kepergian suaminya, sang istri bermimpi bertemu dengan suaminya. Dengan wajah yang cerah sang suami menghampiri istrinya dan menyisir rambut sang istri dengan lembut. “Apa yang Bapak lakukan?’ tanya istrinya senang bercampur bingung.

“Ibu harus kelihatan cantik, kita akan melakukan perjalanan panjang. Bapak tidak bisa tanpa Ibu, bahkan setelah kehidupan didunia berakhir, Bapak selalu butuh Ibu. Saat disuruh memilih pendamping Bapak bingung, kemudian bilang pendampingnya tertinggal, Bapakpun mohon izin untuk menjemput Ibu.”

Istrinya menangis sebelum akhirnya berkata “Ibu ikhlas Bapak pergi, tapi Ibu juga tidak bisa bohong kalau Ibu takut sekali tinggal sendiri. Kalau ada kesempatan mendampingi Bapak sekali lagi dan untuk selamanya tentu saja tidak akan Ibu sia-siakan. Sang istri mengakhiri tangisannya dan menggantinya dengan senyuman. Senyuman indah dalam tidur panjang selamanya…..

Karya Riny Yunita : Ladang Cakiah, 7 April 2008

Sumber: http://situslakalaka.blogspot.com/2011/04/bapak-dampingilah-aku-selamanya.html

Posted By A.H

Pelajaran Hidup Di Balik Sebuah Penyesalan

Sahabatku semua... hidup ini layaknya kita berdiri dalam sebuah kubus kecil yg berada di tengah kubus yg lain yg lebih besar, yg mana kubus tersebut juga berada di tengah-tengah kubus lainnya yg lebih besar lagi dan semakin lebih besar lagi, demikian seterusnya hingga kubus-kubus tersebut membentuk suatu jenjang bertingkat yg harus kita daki satu demi satu, agar kita mampu berada pada satu tingkat yg lebih tinggi dari sebelumnya. Kita harus mampu mendakinya setingkat demi setingkat dengan penuh asa dan harapan. Jangan pernah pedulikan rasa malas dan berat hati yg seolah membebani langkah kita dalam mencapai puncak tingkatan yg paling tinggi.

Yup... sebelum kita lanjutkan membahas tentang topik ini, ijinkanlah saya untuk terlebih dahulu memajang award keren yg saya dapat dari Mbak Reni berikut ini.



Keren kan awardnya? Terimakasih Mbak sudah mau berbagi.
hmmmm... persahabatan memang indah.

Baiklah....
waktu yg berlalu... terasa begitu cepat. Sepertinya baru kemarin saya berusia kanak-kanak, sedang bersepeda ria di sekitar halaman rumah. Hingga akhirnya, ketika menginjak usia 20 tahun, saya memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan. Saya berniat untuk menikah (meski pada kenyataannya baru 4 tahun kemudian terealisasi), dan waktu itu saya juga memutuskan untuk berhenti sekolah. Semua karena terkendala oleh biaya. Saya pikir, bukankah akan lebih menjamin kalau uangnya saya pakai untuk berbisnis saja daripada untuk biaya kuliah yg begitu mahal. Saya pikir dengan sedikit tambahan modal uang hasil pinjaman, saya akan berhasil menjadi pengusaha mandiri ketika saya menginjak usia 30 tahunan. Atau setidak-tidaknya usia 35 tahun lah. Namun apa realitanya? segala sesuatu ternyata tidak berjalan mulus seperti rencana. Semua bergerak di luar batas kendali. Saya telah gagal. Hanya penyesalan yg saya rasa dan yg masih tersisa saat ini.

Tapi...
setelah saya kaji lebih dalam lagi, akhirnya saya pun bisa menemukan satu pelajaran hidup yg begitu luar biasa yg intinya, janganlah kita terburu-buru dalam menentukan sebuah keputusan. Cermati dulu semua dalam-dalam. Amati prospek ke depannya. Lihat kembali semuanya dari segala sudut pandang. Apa yg ada pada sisi positifnya dan apa juga yg ada pada sisi sebaliknya. Dan inilah yg dapat saya simpulkan saat ini. Saat dimana saya sudah mulai beranjak tua.

Mungkin memang harus ada beberapa hal yg sebaiknya saya tekankan pada diri saya waktu itu, ketika sedang berusia 20 tahunan. Apa itu??

- Selesaikan dulu pendidikan..!
Jangan pernah berhenti. Mungkin ada rasa bosan, tapi jangan sampai kita berada pada situasi dimana kita sangat tidak nyaman dengan pekerjaan kita sekarang, tapi kita juga tidak dapat berhenti melakoninya.
Menyelesaikan gelar sarjana akan membukakan kita pintu terhadap lebih banyak kesempatan.

- Uang tidak akan membusuk, simpanlah..!
Mulailah berinvestasi sejak dini. Hitung lagi, berapa banyak barang yg kita miliki untuk menunjukkan jumlah uang yg kita habiskan semasa sekolah dan kuliah? Coba jika dulu kita investasikan separuhnya saja, pasti kita akan memiliki banyak pada masa kita tua. Berinvestasilah sejak dini.

- Jangan menempati rumah pertama yg kita lihat tapi tempatilah rumah yg paling sederhana dengan lingkungan yg paling baik..!

- Bangunlah sebuah kebiasaan untuk hidup sesuai anggaran..!
Hal penting yg harus kita ingat adalah, hidup sesuai anggaran tidak akan memenjarakan atau membatasi kita, tapi itu justru untuk memastikan kebebasan kita suatu saat nanti.

- Belajarlah untuk bernegosiasi dalam segala hal..!
Belajar negosiasi akan menyelamatkan anggaran kita dalam jumlah besar. Selalu siap untuk belajar dan keluar dari situasi dan kondisi apapun.

- Waktu berkualitas di kantor memang penting, namun jumlah waktu kita di rumah lah yg lebih penting..!
Bos kita tidak akan pernah peduli dengan keluarga kita. Tapi keluarga akan tetap ada setelah kita lama meninggalkan pekerjaan kita. Jadi sebaiknya utamakan keluarga.

- Jangan dengarkan mereka yg mengatakan bahwa ada jalan singkat menuju kesuksesan..!
Kesuksesan tercipta karena kita berhasil menawarkan sesuatu yg menarik dan bernilai kepada mereka yg memintanya. Pelajaran penting disini adalah, cari tahulah permintaan yg belum dipenuhi dan pelajari bagaimana cara untuk memenuhinya.

- Pastikan pasangaan kita memiliki nilai yg sama dengan diri kita..!
Hal yang satu ini dapat menjadi penentu kebahagiaan kita. Bicarakanlah dengan pasangan, nilai yg penting pada kehidupan kita yg harus diajarkan kepada anak-anak, walaupun kita tidak berencana untuk memilikinya.

- Belajarlah membangun jaringan..!
Belajarlah untuk terus berhubungan dengan teman lama. Belajarlah untuk meminta pertolongan tanpa terlihat sedang melakukannya. Lihatlah bagaimana orang lain membangun jaringan. Ingat... yg penting adalah bukan apa yg kita ketahui, tetapi apa yg dapat kita lakukan dengan apa yg sudah kita ketahui itu. Dan yg lebih penting lagi, bukan siapa yg kita kenal, melainkan siapa saja yg telah mengenal kita. Ingat itu..! Belajarlah untuk membangun jaringan tanpa mengharapkan imbalan.

- Never accept a job just because the pay is higher..!
Jangan pernah menerima sebuah pekerjaan hanya karena ia memiliki bayaran yg lebih tinggi. Hidup ini bukan hanya tentang uang, uang, uang dan uang.

- Percaya tapi juga pastikan..!
Kita dapat percaya dengan apa yg diajarkan, kita dapat percaya dengan apa yg kita dengar dan kita dapat dengan mudah percaya pada apa yg kita baca sewaktu kecil. Tapi sekarang kita harus terus melakukan pengecekan terhadap referensi-referensi yg mungkin kita terima. Tanyakan dulu beberapa pertanyaan, dengar jawabannya baik-baik dan cari tahu juga apa jawabannya itu benar. Janganlah menjadi seorang yg gampang menerima, tapi pastikan dulu segala sesuatunya. Dalam artian, pastikan kita sadar bahwa kita sedang berurusan dengan siapa dan apa pula motivasinya.

Silakan dipelajari..! Mungkin ada satu atau dua kalimat yg dapat kalian terapkan.
Semoga kesuksesan menyertai Anda..! Keep spirit and Be A Great Person

Sumber: http://www.ikutikutan.com/2010/04/pelajaran-hidup-di-balik-sebuah.html

Posted By A.H

Kita dan Orang Tua Kita


“Kita cenderung selalu berpikir bahwa kata 'pertumbuhan' hanyalah milik kita. Bahwa orang tua kita sudah berhenti 'tumbuh'.”


Semakin kita dewasa, semakin kita mengerti tentang orang tua kita. Setidaknya itu terjadi kepada saya. Saya rasa sangatlah natural untuk tumbuh dewasa dan semakin mengerti apa yang dirasa dan dialami orang tua kita.

Saya bingung harus memulai dari mana, karena berbicara tentang orang tua kita, kita berbicara tentang seluruh hidup kita. Tapi ada yang menjadi perhatian saya yang luar biasa besar belakangan ini tentang kedua manusia yang saya cintai ini.

Sebagai generasi muda, generasi penerus, kita cenderung selalu berpikir bahwa kata 'pertumbuhan' hanyalah milik kita. Bahwa orang tua kita sudah berhenti 'tumbuh'. Nyatanya mereka tidak pernah berhenti tumbuh dan berkembang seperti kita, generasi muda. Karena hidup memang seperti itu. Setidaknya mereka senantiasi tumbuh dan berkembang dalam pemikiran, pemahaman, perasaan, kebijakan, pengetahuan.

Kita juga sebagai generasi muda cenderung berpikir bahwa 'kehidupan baru' itu hanya milik kita, bukan milik orang tua kita. Bahwa mulai dari kita bayi, hingga sekolah, mendapatkan pekerjaan, hingga menikah, punya anak dan sebagianya, kita selalu lekat dengan 'perjalanan menempuh hidup baru'. Tapi kita cenderung tidak menganggap bahwa 'menempuh hidup baru' sudah bukan lagi bagian dari kehidupan orang tua kita. Padahal, mereka selalu berhak untuk menempuh hidup baru. Harapan baru setiap harinya. Mereka, manusia sama seperti kita. Mereka berhak mendapatkan semangat baru setiap harinya. Kebahagiaan baru setiap harinya. Mereka berhak mendapatkan senyum yang baru setiap harinya.


“Tuanya usia orang tua kita, tidak sedikitpun mengurangi hak hidup mereka untuk merasakan berbagai hal baru.”


Mereka berhak sepenuhnya mendapatkan kebahagiaan material yang baru. Mereka berhak mendapatkan pencerahan baru, seperti kita. Mereka berhak sepenuhnya mendapatkan suasana baru, sama seperti kita. Mereka juga berhak mendapatkan pengalaman dan petualangan baru dalam hidup sama seperti kita. Orang tua kita, adalah manusia yang sama seperti kita. Mereka energi kehidupan yang sama seperti kita yang lahir kedunia.

Mereka jiwa yang sama murninya seperti kita pada saat lahir. Mereka jiwa yang sama-sama didoakan oleh kakek dan nenek kita saat mereka lahir, sama seperti kita. Orang tua kita adalah jiwa yang sama seperti kita, yang disambut ke dunia dengan doa dan harapan dari orang tua mereka. Sampai kapanpun, orang tua kita, adalah sumber dan energi kehidupan yang sama seperti kita, yang tidak lepas dari doa dan harapan orang tuanya mereka juga. Mereka persis sama seperti kita.

Jadi, mereka adalah bayi yang sama seperti kita. Mereka juga adalah anak dari orang tua mereka,  just like us, we are the children of our parents. Mereka api dan semangat yang sama seperti kita pada saat lahir hadir di dunia ini. Seperti kita pada saat lahir dan sepanjang masa pertumbuhan kita menuju dewasa, mereka juga selalu di iringi doa dan harapan orang tua mereka. Orang tua kita berhak sepenuhnya untuk selalu merasakan kehidupan, perkembangan dan pertumbuhan, hidup baru setiap hari - just like us, the young generation. Orang tua kita adalah penerus dari kakek dan nenek kita, seperti kita penerus dari orang tua kita. Hak mereka sama. Tuanya usia orang tua kita, tidak sedikitpun mengurangi hak hidup mereka untuk merasakan berbagai hal baru, untuk merasakan 'pertumbuhan dan perkembangan'.

Oleh karenanya, berilah mereka selalu, harapan baru, semangat baru, senyum yang baru, tawa yang baru. Bahkan jika kita dikarunia rejeki, berilah mereka kebahagiaan material yang baru, mobil baru, rumah baru, pakaian baru, mencoba berbagai menu makanan baru. Ajaklah mereka berlibur mendapatkan suasana baru, mencoba restaurant baru, mendengarkan musik yang baru, melihat pemandangan yang baru, membaca jenis bacaan yang baru. Apapun yang baru, tetap dan akan selalu menjadi hak mereka. Bukan hanya hak kita sebagai generasi muda.

Mereka, adalah bayi yang sama seperti kita saat kita lahir. Mereka juga menyenangi hal-hal yang bisa membuat mereka tertawa dan tersenyum seperti kita. Jangan lepaskan aspek kehidupan dari diri mereka. Mereka manusia yang sama, yang tetap ingin bersinar. Berilah mereka, dan biarkanlah mereka bersinar sampai akhir hidup mereka. Berikanlah mereka selalu energi kehidupan. Copotlah status dan wujud fisik mereka sebagai 'orang tua', kenyataannya, kita dan mereka sama-sama mahluk yang berhak sepenuhnya atas kebahagiaan dalam kehidupan.

Sampai pada akhirnya, saat mereka akan menjemput ajalnya, berilah mereka usaha kita yang terbaik saat merawatnya untuk mempermudah perjalanannya. Supaya mereka bisa tersenyum damai untuk menempuh perjalanan atas hidup baru mereka di atas sana.


Sumber: http://id.omg.yahoo.com/blogs/kita-dan-orang-tua-kita-maylaffayza-6.html

Posted By A.H

Senin, 14 Mei 2012

Selalu Ada Keindahan Dibalik Keruwetan Hidup



Ketika saya kecil dulu... waktu itu Ibu sedang menggenggam sehelai kain, dan saya sedang asyik bermain di lantai. Spontan lalu saya melihat ke atas dan bertanya tentang apa yg Ibu lakukan. Ibupun lantas menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas kain tersebut.
Tetapi saat itu saya tak percaya. Saya bilang kepadanya, bahwa yg saya lihat dari bawah hanyalah gumpalan benang yg semrawut dan ruwet tak berpola.

Dengan senyuman khasnya, Ibu lalu memandangku dan kemudian berkata lembut,
"Anakku... lanjutkan sajalah permainanmu, sementara biarkan Ibu menyelesaikan sulaman ini. Nanti ketika selesai, kamu akan Ibu panggil dan Ibu dudukkan di pangkuan Ibu. Dan kamu pasti akan dapat melihat sulaman ini dari atas."

Saat itu saya benar-benar tak habis pikir, kenapa juga Ibu susah-susah menyulamkan benang hitam dan putih sampai begitu semrawutnya.
Lalu beberapa saat kemudian, saya mendengar suara Ibu memanggil,

"Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan Ibu."

Sayapun menuruti apa yg Ibu katakan. Dan betapa takjubnya saya sesaat setelah melakukan itu. Saya kagum melihat sulaman bunga-bunga yg begitu indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yg sedang terbit. Sungguh itu adalah maha karya yg luar biasa indah. Saya hampir tak percaya melihatnya, sebab yg saya lihat sebelumnya dari bawah hanyalah benang-benang ruwet yg begitu semrawut. Sampai akhirnya, dengan penuh kelembutan, Ibu lalu menjelaskan,

"Anakku... ketika terbentang dan kamu melihatnya dari bawah, yg nampak di sehelai kain ini memang hanya rangkaian benang yg ruwet dan kacau. Tapi sesungguhnya kamu tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yg direncanakan.
Sebuah pola yg Ibu hanya tinggal mengikutinya. Dan sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat menikmati keindahan dari apa yg ibu kerjakan selama ini."



Sering selama bertahun-tahun, saya berkhayal melihat ke atas dan bertanya kepada Allah,

"Ya Allah, apa yg Engkau lakukan?"

Ia menjawab, "Aku sedang menyulam benang-benang kehidupanmu."

Dan sayapun membantah, "Tetapi yg saya rasakan hidup ini ruwet dan kusut, benang-benangnya banyak yg berwarna hitam. Mengapa tidak semuanya memakai benang yg berwarna cerah, ya Allah?"

Kemudian Allah menjawab, "Hamba-Ku... kamu teruskan sajalah pekerjaanmu di bumi ini sementara Aku juga akan menyelesaikan pekerjaan-Ku. Dan suatu saat nanti ketika waktunya tiba, Aku akan segera memanggilmu ke surga dan mendudukkanmu di pangkuan-Ku, dan kamu akan melihat rencana-Ku yg indah dari sisi-Ku."

------o0o------

Subhanallah...
Beruntunglah orang-orang yg mampu menjaring ayat indah Allah dari keruwetan hidup di dunia ini. Semoga Allah berkenan menumbuhkan kesabaran dan mewariskan kearifan dalam hati hamba-Nya agar dapat memaknai kejadian-kejadian dalam perjalanan hidupnya di dunia. Seruwet apapun itu. Aamiin.

Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Pengatur segala sesuatu di alam semesta ini. Kendatipun manusia punya keinginan, tetapi Allah mempunyai keputusan yg tak mungkin dapat kita ubah.
Marilah kita senantiasa bertawakal kepada-Nya.

Saya punya keinginan, kalian punya keinginan, kita semua punya keinginan. Tetapi hanya keinginan Allah SWT lah yg pasti dan akan terjadi, karena memang hanya Dialah yg Maha Tahu dan Maha Kuasa atas segala apa yg ada. Subhanallah..

Sumber: http://www.ikutikutan.com/2010/08/selalu-ada-keindahan-dibalik-keruwetan.html

Posted By A.H

"bacalah" dengan Hati... dan "tegakkan!" dengan Rasa...

Bismillah....
 


Mendung menggelapi  indahnya biru langit siang tadi..
Semilir angin membawa segumpal rindu..
Entah akan datang hujan atau tidak...
Karena kegersangan mulai membelah keras setiap kekeringan...

Lirih lagu hati menyayat ironi..
Ku lihat indah hari ini tak seindah perasaan jiwa yang terhampar di luar sana...
Oh... siapakah yang peduli?

Rasa sepi, rindu, cinta..bahkan untuk sekedar bercanda dan tertawa...
Ku rasa ada setitik air mata dalam hatiku...
Tertunduk malu, karena laku – laku  belum cukup menyelimuti semua kalbu yg haru...

Semoga esok bersamanya darah dakwah ini...
Semua kan gemilang terpatri menguati  setiap sudut gelap maupun terang...
Karena sebuah janji yang BENAR hanya ada dalam qalam sang pencipta AL qur’an...
 
Ratih. Septiana
Al – Farouq Home
Kamis, 6 Oktober 2011
4. 48 pm

*****************************************************************************

 "Moralitas haruslah berlandaskan akidah,
Akidahlah yang menyusun konsiderans dan menetapkan nilai - nilai moralitas"

( Sayyid Quthb )

karena tidak ada moralitas yang hidup tegak dan sejahtera tanpa adanya akidah yang lurus ( ISLAM ). karena yang baik, belum tentu benar, dan yang benar musti dirujuk dalam KEBENARAN lagi ( AL qur'an & Sunnah )

Dalam berjalan terbungkam membisu...,
Ada rasa menggelitik di dalam ini, Hati. Mengamati satu persatu tingkah polah dari bagian negeri ini. Nyaris membuat diriku sendiri putus asa. Tapi bukanlah sejati dari muslim jika ia mudah untuk mundur dari sebuah perjalanan dan ujiannya.
 
Merasakan setiap hembus nafas dari jerit – jerit hati itu, empati yang terus menerus mengasah dan mengajakku turut menyambut keprihatinan. Apa yang dapat ku  buat hari ini? Rasanya belum cukup semua pengorbanan ini.  Setiap kemurungan jiwa mereka, kesuraman langkah dan harapan adalah kesedihan yang mungkin kalian tak pernah itu.
 


 Anak – anak jalanan, Jiwa fakir dan miskin. Semua terlantar. Krisis apa sebenarnya yang melanda negeri ini? Bukan, bukan hanya negeri ini, bahkan BUMI ini. Ketipisan dan Kepudaran Akidah meruntuhkan semua moralitas. Hatiku merah padam, berkecamuk dan muak...dibuatnya. Mana janji anak terlantar dan fakir miskin dipelihara oleh Negara dalam pasal 34 ayat 1 di dalam Undang – Undang Negara 1945 di Indonesia ini?
 
Ku lihat anak – anak kecil berlarian mengitari lampu merah di Jakarta ini,  wajah lusuh suara yang luruh menandakan keletihan. Sempatkah mereka makan pagi tadi? Atau hanya sekedar mandi untuk membersihkan pakaian mereka....? naifkah aku? Terserah.. namun kepedulian ini semakin memilukan...

********************************************************************************

 Pemandangan terbalik dengan semua orang yang bertendeng dengan jas dan dasi mahal mereka. Kecantikkan dari pesona apa yang mereka kenakan. Kemahalan kendaraan yang mereka guna. Satu anak kecil mengais rupiah demi sesuap nasi dan mungkin membeli buku sekolahnya, ditepiskan tangan menengadah itu dengan kasarnya, muram dan geram raut sang Tuan, sang Nona..., Jiwa kecil tak marah..terdiam menunduk lesu
Terlihat takut hingga tangan kaku, mata yang tak cemerlang kerlingannya....
Allahu Rabbi anta ya Rabbi...,
Siapalah kami ini ya Allah?
Bukan siapa – siapa jika tanpaMU...
Gerimis sangat pilu dalam hatiku...
 
Mungkin..
Telaga bening  masih tersisa pada pemilik syurga Jiwa..
Tak banyak dari mereka dan apa yang diperbuatnya, namun kasih sayang senyuman dan keramahan adalah kebahagiaan yang nyata  berusaha berbagi dan menjadi keutamaan untuk saling memberi.

Dalam buku yang baru saja ku beli ini “Life Lessons For Women”
Dikatakan di dalamnya bab I bahwasannya “Mencintai diri sendiri itu adalah hal yang terpenting sebelum kita bertindak pada yang lain”

Namun  penulis tulisan ini memiliki pendapat sendiri...
 


 “Mencintai diri sendiri sebelum bertindak pada yg lain itu memang penting..
tapi caraku mencintai diriku adalah dengan berbagi kasih sayang terhadap sekitarku..
memberi banyak cinta di sekelilingku..

karena hidup yg juga untuk Kehidupan orang lain bagiku..
itulah yang membuat pribadi ini menjadi di luar "kebiasaan" seperti yg lain...
Dan akupun ingin menjadi lebih memahami diriku dengan seperti ini”

 (R.S)

Lalu Bagaimana dengan Sahabat Pembaca ?

Pernah terfikirkah? Ketika kita sering dan menomor satukan diri sendiri? Apa yang akan terjadi ke depan? Kita akan menjadi orang yang bermental lemah, manja, dan egois. Karena hanya mencintai diri sendiri itu sama saja dengan membuat perasaan kita nyaman terlebih dahulu, dan pernahkah terlintas dalam fikiran KITA? Karena terkadang sesuatu yang dilakukan dari apa yang tidak kita sukai ( keterpaksaan) itu bisa menjadi wawasan baru, pengalaman yang dapat menambah persepsi kita. Atau bahkan menjadi satu jawaban yang selama ini kita cari. Dan kita tak pernah tahu jika tidak pernah mencobanya..

Kembali pada mencintai diri sendiri...

”Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil, tapi, siapa yang mau memikirkan orang lain, dia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”

(Sayyid Quthb)

***************************************************************************************

Dan Kesinambungan Hal ini dengan Akidah dan Moralitas Bangsa ini,

Akidah yang lurus akan melahirkan akhlak yang sejahtera, adakah Akidah yang utuh adalah mereka yang mementingkan diri mereka sendiri? Adakah mereka yang bertindak curang? Dan tidak mau tahu ketika rakyatnya menanggung rasa lapar dan ketakutan ?

Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggamanNYA...
 
Tulisan ini, bukan untuk sebatas Sahabat membaca, tapi penulis mengajak Sahabat untuk berfikir jauh, dewasa, matang dan penuh dengan tanggung jawab yang sesungguhnya...dan yang lebih utama adalah jujur bertanya pada diri KITA sendiri, apa saja yang sudah kita lakukan untuk orang lain? Ingatkah ? Kebesaran Kita saat ini tidak lebih dan kurang juga pengaruh dari sekitar.  Karena tak akan ada sebuah  Mesin yang berjalan tanpa puluhan dan ribuan kabel yang menyatu untuk ia menyala.


Kerusakan Akidah, meruntuhkan semua moralitas...
Keindahan dunia seolah menghapuskan smua tanggung jawab yg sebenar...

tanggung jawab siapa ketika orang tertsesat sementara KITA yg faham bersikap sebaliknya?
ku faham Kasih Sayang Tak berarti tak dapat membeda mana yg Benar dan Salah


 
bukan aku berlari dari satu lingkaran ini...
tapi aku ingin menggunakan caraku sendiri dari apa yg aku dapat sampai detik ini...

Islam bukan keterbelakangan zaman,
dia alah intelektualiatas yang musti dijunjung TINGGI !!!
harga mati dengan smua komitmen yg utuh...

fikirkanlah...
jika kau masih berfikir untuk dirimu sendiri sampai hari ini...
untuk apa kau HIDUP?

karena Kau tak bisa berbagi,
aku ingin mencari celah sebelum smua hitam itu memecah...
hingga gelap menyelimuti bumi pertiwi ini...

sulit, tapi inilah tujuan hidup yg bagi yang dia mengerti HIDUP !!
karena hanya dengan ! Akidah yang lurus ( ISLAM )
insya Allah semua perkara dan kasus dapat terurus...
Amin.

******************************************************************************************

Dan orang-orang yang telah me­netap di kota itu dan (tetap) beriman dan sebelum mereka; mereka itu kasih kepada orang­-orang yang telah berhijrah ke­pada mereka dan tidak mereka dapati dalam dada mereka suatu keinginan pun dari apa yang telah diberikan kepada mereka; dan mereka Iebih mengutama­kan (saudara-saudara mereka yang baru datang itu), lebih dari diri mereka sendiri, walaupun mereka dalam kesulitan. Dan barangsiapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, maka orang-orang inilah yang beroleh kemenangan.”

( Q.S Al Hasyr : 9 )

 Inspiration by : Sayyid Quthb & Film “Jamila & Sang Presiden”
 
Ratih Septiana
white_rose
AL Farouq Home
Kamis, 6 Oktober 2011
5. 27 pm

Mari Kita Berpikir Kecil Saja

"Size doesn’t matter" 

Kita masih percaya itu? Bisa iya. Bisa juga tidak, sih. Yang jelas, dengan berpikir besar kita terdorong untuk menjadi pribadi besar dengan pencapaian yang besar. Kita sudah sejak lama memahami hal itu. Kali ini saya ingin mengajak Anda untuk melakukan sebuah eksperimen yang sebaliknya. Apakah itu? Berpikir kecil. Lho, kok berpikir kecil? Bukankah semua orang ingin menjadi besar dan sangat mendambakan ukuran yang besar-besar? Betul, tetapi faktanya kita sering sekali membutuhkan yang kecil-kecil. Bahkan ketika sedang berhadapan dengan suatu masalah, kita dinasihatkan, jangan membesar-besarkan hal yang kecil-kecil.



Kegandrungan kita terhadap teknologi nano adalah fakta tidak terbantahkan lainnya bahwa semakin hari, kebutuhan manusia semakin mengarah kepada "hal-hal yang kecil". Sebagian besar perangkat pendukung kehidupan kita dibuat menjadi semakin kecil, semakin compact, dan semakin percayalah kita bahwa semuanya semakin sesuai dengan kebutuhan kita yang sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bahwa disadari atau tidak, sesungguhnya saat ini tengah terjadi "revolusi" dimana "yang kecil" mengambil alih peran dominan "yang besar". Dalam cara berpikirpun, sudah saatnya kita menyesuaikan diri dengan arus "revolusi" itu. Bagi Anda yang tertarik menemani saya bereksperimen dengan cara berpikir kecil.

Saya ajak untuk memulainya dengan memahami 5 sudut pandang Natural Intelligence berikut ini:
   
1.   Membangkitkan Sikap Rendah Hati


Pernahkah Anda melihat seseorang patantang petenteng sekalian membangga-banggakan ‘kebesaran’ dirinya? Bagaimana kesan Anda terhadap orang itu? Kita bisa menilai orang dari cara berjalannya, cara berbicaranya, juga dari caranya memperlakukan orang lain. Sudah banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang yang mengira dirinya besar cenderung terjebak oleh ‘jubah kebesarannya’ sehingga mereka harus mengimbangi ‘kebesaran’ itu dengan semakin membesarkan egonya sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya masih kecil meskipun pencapaiannya sudah sangat besar tetap bisa bersikap rendah hati. Kepada siapa Anda menaruh rasa hormat paling tinggi; mereka yang mengira dirinya besar dan bersikap arogan; atau kepada orang-orang yang memiliki pencapaian tinggi namun tetap bersikap rendah hati? Meskipun Anda sudah berhasil memperoleh pencapaian tinggi, tetapi berpikirlah kecil; karena diatas gunung masih ada gunung. Dan dengan kesadaran itu, Anda memupuk sikap rendah hati.

 2.   Merangsang untuk bermain di "playing ground" yang lebih besar
 

Mungkin Anda pernah bertemu dengan seseorang yang pencapaian hidupnya termasuk luar biasa. Namun dia berkata begini;”Saya ini belum ada apa-apanya, Mas….” Hanya karena berendam didalam bathtub, tidak berarti bahwa kita sudah menjadi orang yang besar. Mengapa? Bukan karena kitanya yang besar, tetapi bathtub-nya yang kecil. Berenanglah di kolam, maka tubuh Anda tidak lagi bisa menutupi semua permukaannya. Bersampanlah di sebuah danau, maka Anda akan tahu besarnya diri Anda itu masih terlalu kecil untuk luasnya danau. Dan berlayarlah di samudera, maka Anda akan lebih sadar bahwa diri kita ini tidak ada apa-apanya dihadapan jagat raya. Maka sekarang saya mengerti, mengapa orang-orang yang berhasil menjaga dirinya untuk tetap rendah hati tidak pernah berhenti untuk terus berprestasi. Semakin besar pencapaian mereka, semakin sadar betapa kecilnya mereka. Dan semakin terdoronglah mereka untuk bermain di ‘playing ground’ yang lebih besar. Jadi, jika Anda sering merasa diri sudah sangat besar, mungkin Anda perlu ikut mereka yang bermain di ‘playing ground’ yang lebih besar.

 3.   Segala hal besar dibangun dengan komponen-komponen kecil
 

Sebesar apa rumah tinggal Anda? Tidak akan sebesar itu tanpa butiran-butiran pasir. Sebesar apa perusahaan Anda? Tidak akan bisa besar seperti sekarang jika tidak ada ‘orang-orang kecil’ yang mau bekerja untuk Anda. Seberapa besar gaji yang Anda terima? Tidak akan sebesar itu jika tanpa kontribusi orang-orang bergaji lebih kecil yang Anda pimpin. Faktanya, semua hal besar yang ada dalam kehidupan kita dibangun dengan komponen-komponen kecil. Semoga hal ini semakin memperkuat kesadaran kita bahwa kebesaran yang saat ini kita miliki adalah hasil dari kontribusi peran-peran kecil yang mungkin sering tidak kita sadari bahkan mungkin terabaikan. Dengan kesadaran ini, maka kita bisa menjadi pribadi yang tetap berpijak diatas bumi. Terutama ketika berhadapan dengan orang lain yang kita nilai ‘kecil’ dihadapan kita.

 4.   Membangun rasa percaya diri
 

Salah satu masalah yang paling sering menghambat kesuksesan seseorang adalah rendahnya rasa percaya diri. Percayalah, sekecil apapun peran yang bisa kita mainkan pasti akan memberi dampak yang besar jika kita melakukannya dengan kesungguhan. Cobalah perhatikan orang-orang yang paling sukses di kantor Anda. Sebagian terbesar mereka adalah ‘mantan orang kecil’ seperti Anda beberapa belas atau puluhan tahun sebelumnya. Jadi, sungguh tidak relevan jika sekarang kita membanding-bandingkan diri dengan mereka. Berfokuslah dengan kemampuan diri Anda, mengoptimalkan penggunaannya, dan perbaikilah apa yang kurang didalamnya. Lama kelamaan, Anda akan memiliki kemampuan yang sama baiknya dengan mereka yang sudah menjadi besar. Bahkan, boleh jadi Anda bisa melampaui pencapaian mereka. Apakah Anda masih merasa minder dengan pencapaian kecil yang hari ini Anda dapatkan? Jika demikian, pupuklah rasa percaya diri Anda. Dan berfokuslah untuk mengaktualisasikan hal terbaik didalam diri Anda, dalam setiap karya yang Anda persembahkan.

 5.   Hal-hal kecil yang konsisten lebih berdampak daripada hal besar sekali tembak



Dalam banyak hal, kita sering tergoda untuk melakukan sesuatu yang ‘besar’ namun angin-anginan. Ketika semangat kita sedang memuncak, kita begitu menggebu-gebunya melakukan sesuatu. Begitu kita bosan? Kita mencampakkannya begitu saja. Pergilah ke fitness center setahun sekali. Lalu berolah ragalah sampai seluruh tenaga Anda terkuras habis dan setiap tetes keringat Anda mengering. Alih-alih menjadi sehat, Anda malah beresiko terkena serangan jantung. Begitu pula dalam aspek kehidupan kita yang lainnya. Kita tidak akan mungkin menghasilkan sesuatu yang benar-benar berdampak dengan melakukan hal besar sekali tembak. Melakukan hal kecil secara konsisten, itulah yang bisa membangun kemampuan terbesar kita. Membaca buku bagus, misalnya. Jika langsung lahap semuanya, maka kepala Anda akan pusing. Tetapi jika dicerna perlahan-lahan; Anda akan mampu memahaminya dengan baik. Saat menjalani hidup, lebih baik melakukan hal-hal kecil secara konsisten daripada mengerjakan hal besar namun hanya sekali tembak.

Berpikir kecil bisa membantu kita untuk menuju kepada pencaian yang semakin tinggi. Pada saat yang sama, berpikir kecil juga menjaga diri kita untuk tetap berada dalam sikap bersahaja dan kerendahan hati. Sebab, dengan berpikir kecil; kita tetap bisa melihat peran orang-orang kecil. Dan semakin hari, kita semakin menyadari bahwa sebesar apapun kita, sungguh sangat kecil dihadapan Dia Yang Maha Besar.

Mereka yang memiliki pencapaian tinggi namun tetap rendah hati, jauh lebih indah perangainya dibandingkan mereka yang sudah merasa dirinya terlalu besar untuk mengakui peran orang-orang kecil terhadap kebesaran dirinya.

Mari Berbagi Semangat!

Satu hal yang membuat perbedaan besar dalam hidup Anda adalah menemukan pelajaran baru dari apa yang selama ini Anda pikir sudah Anda ketahui semua. Kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang final di dunia ini, bahwa ternyata Anda harus terus belajar karena tidak mungkin Anda bisa tahu semua, ini-lah yang akan membuka kesuksesan lebih besar lagi dalam hidup Anda.


~Ralph Lynn~ 


TETAP FOKUSKAN DIRI KITA PADA PIKIRAN-PIKIRAN
YANG POSITIF DAN MENYENANGKAN