“Makan malamlah bersama Ibumu hingga ia senang.
Hal itu lebih aku senangi daripada haji sunnah yang kamu kerjakan.”
(Al-Hasan bin Amr Rahimahullahu)
Hijrah
bukan semata keputusan ideologis-teologis, lebih jauh hijrah adalah
sebuah keputusan psikologis, terlebih dalam konteks di saat kita dalam
posisi seorang anak. Dan hal inilah yang dirasakan oleh seorang sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu ‘Anhu seorang lelaki mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku
berjanji setia kepadamu wahai Rasulullah untuk berhijrah. Tetapi aku
meninggalkan orang tuaku dalam keadaan terus menangis.” Ucap lelaki itu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,“Pulanglah kepada keduanya. Buatlah keduanya tertawa, sebagaimana kau telah membuatnya menangis.” (HR. Muslim)
Ibu,
adalah representasi bidadari surga yang paling terang. Hatinya adalah
oase cinta kehidupan yang menyejukkan, airnya bening dan tak pernah
menemui kekeringan. Kasih sayang dan pelukannya adalah hembus angin
kedamaian. Jasa-jasanya takkan pernah dapat terbilang, sekalipun dengan
formula-formula canggih matematika atau fisika modern.
Imam Bukhari dalam Shahih Al Adabul Mufrad No.9 meriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, bahwa suatu hari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma melihat
seorang menggendong Ibunya untuk tawaf di Ka’bah dan ke mana saja sang
Ibu menginginkan. Kemudian orang tersebut bertanya, “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini apakah aku sudah membalas jasa ibuku?”, “Belum, setetes pun engkau belum dapat membalas kebaikan kedua orang tuamu” Jawab Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
Pada kisah lain yang diceritakan Abul Faraj Rahimahullahu. Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Umar lalu berkata, “Sesungguhnya
aku mempunyai ibu yang sudah tua renta. Dia tidak menunaikan
keperluannya kecuali punggungku yang menjadi tanggungannya. Apakah aku
sudah membuatnya ridha dan bisa berpaling darinya? Apakah aku sudah
menunaikan kewajiban kepadanya?” Umar Radhiyallahu ‘Anhu menjawab, “Belum”. “Bukankah aku telah membawanya dengan punggungku dan aku merelakan hal itu untuknya.” tukas lelaki itu. “Tapi,
dia telah melakukannya dan dia berharap agar engkau hidup dan tetap
berada di pangkuannya. Sebaliknya, engkau melakukannya dan berharap
untuk segera berpisah dengannya,” tegas Umar Radhiyallahu ‘Anhu, sehingga membuat orang itu tak lagi sanggup mengeluarkan kata-kata.
Sebesar apapun pengorbanan yang kita berikan pada Ibu, se-zarah pun
tak akan dapat menggantikan pengorbanan yang diberikan ibu kepada kita.
Dengan memahami bahwa bakti dan pengorbanan kita tak akan pernah bisa
membalas kebaikan ibu, semoga bisa menyadarkan kita untuk selalu
memahami dan menyelami keinginannya.
Di dunia ini, tak
akan pernah kita temukan cinta kasih seindah cinta kasih seorang Ibu.
Tentang hal ini dengan apik Imam Adz Dzahabi rahimahullahu menguraikan, “Ibumu
telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan yang serasa
sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja
menghilangkan nyawanya. Dia telah menyusuimu dengan air susunya, dan ia
hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dia bersihkan kotoranmu
dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas
makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah
memberikanmu semua kebaikan, dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak
darinya kesusahan yang luar biasa dan kesedihan yang panjang. Dia
keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu, dan seandainya
dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka ia akan meminta supaya kamu
hidup dengan suara yang paling keras. Betapa banyak kebaikan ibu,
sedangkan engkau balas dengan akhlaq yang tidak baik. Dia selalu
mendoakanmu agar mendapat petunjuk, baik di dalam sunyi maupun ditempat
terbuka. Tatkala ibumu membutuhkanmu di saat dia sudah tua renta, engkau
jadikan dia sebagai barang yang tidak berharga di sisimu. Engkau
kenyang dalam keadaan dia lapar. Engkau puas dalam keadaan ia haus.
Engkau mendahulukan berbuat baik kepada istri dan anakmu dari pada
ibumu. Engkau lupakan semua kebaikan yang pernah dia perbuat. Begitu
berat rasanya bagimu memeliharanya, padahal itu urusan yang mudah…”
Ibu,
benar-benar bidadari Surga yang Allah turunkan dengan segera. Maka,
sampaikanlah kepadanya betapa kita mencintainya, dan berterima kasihlah
atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya kepada kita. Semoga
Allah mengampuni dosanya, memberkahi usianya, dan mengumpulkan kita
kembali dalam surgaNya.
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar