“Hidup bukan hanya tentang apa yang kita makan, atau tentang apa yang
kita pakai, atau apa yang kita miliki. Hidup adalah bersyukur atas
makanan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Hidup adalah melepaskan
apa yang kita pakai dan melekatkannya pada tubuh orang lain. Hidup
adalah merelakan apa yang kita miliki untuk siapapun yang memintanya.”
Begitulah
yang dikatakan seorang bapak kepada anak laki-lakinya saat mereka akan
bersiap tidur beralas kardus di dalam gerbong kereta tua yang sudah tak
terpakai lagi. Si anak yang masih membereskan kotak semir sepatunya
hanya memandang bapaknya dengan kosong. Setiap malam dia selalu
mendengar kata-kata bapaknya namun dia tetap saja tak paham. Si bapak
lalu mengelus kepala anaknya dan merebahkan tubuhnya. Dia melipat kedua
tangan dan meletakkannya di atas perut. Posisi tidurnya yang santai
menandakan dia berada dalam ketenangan yang dalam. Laki-laki tua itu
merasa damai selepas mengucapkan kata-kata itu, seakan mantra baginya
untuk melindungi anaknya. Tak lama kemudian bapak itu terlelap.
Sebaliknya
bocah itu masih terjaga, mencoba mereka-reka nasehat bapaknya yang tak
terjangkau pemahamannya dan berakhir menjadi peta buta di kepala.
Mungkin ini hanya masalah umur. Sepuluh tahun dia menghirup napas di
dunia ini namun tak cukup mampu membuatnya mengerti meski jalanan
menempanya menjadi anak yang tangguh dan lebih dewasa dari anak-anak
berkehidupan normal lainnya. Dia sungguh hafal nasehat bapaknya bahkan
dia hafal betul pada urutan kata keberapa bapak mengambil napas untuk
bersiap meluncurkan kata-kata yang lain.
Bocah itu mengerutkan kening dan mulai menelusuri dari awal nasehat bapaknya.
HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA MAKAN.
Mungkin
bapak mengatakan itu supaya aku tak lagi memandang lama-lama gedung
kaca mirip aquarium besar berisi orang-orang yang asyik melahap paha
ayam atau roti bertumpuk yang saat digigit akan meledakkan saus merah
bercampur kuning kental lalu meleleh di sisi tumpukan roti. Jika memang
itu artinya aku bisa melakukannya.
Dia lalu memandang remasan
kertas nasi yang tidak menyisakan secuil nasipun. Itu adalah kertas nasi
bekas makan malam mereka: nasi basi tanpa lauk. Anak itu mengelus
perut. Kenyang. Dia yakin orang-orang itu juga merasakan rasa ini. Sama
saja.
Dia mengeluarkan kaos coklat bergambar kartun Devil
Tasmania dari kotak semir. Kaos itu adalah kaos kesayangan dari dua kaos
yang dia punya dan yang satunya melekat di tubuh.
HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA PAKAI.
Tiba-tiba
wajahnya muram. Bukan hanya dia yang menyukai kaos itu, sahabatnya
juga. Sebenarnya dia berniat memberikan kaos itu di hari ulang tahun
sahabatnya. Namun sayang, sahabatnya hilang sebelum dia sempat
menghadiahkan kaos itu. Orang-orang bilang Bayangan Iblis telah
merenggutnya sama seperti anak-anak jalanan lain yang hilang tanpa
jejak. Banyak yang tidak diketemukan. Kalaupun ketemu tubuh mereka tak
utuh lagi. Sama seperti nasib sahabatnya. Pagi ini kepala sahabatnya
ditemukan di antara tumpukan sampah kota. Bulir-bulir airmata membasahi
pipi bocah itu namun buru-buru dihapusnya. Dia sadar kaos itu tak
mungkin berguna untuk sepotong kepala.
Lalu bagaimana dengan yang terakhir?
HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA MILIKI.
Dia
tak punya rumah, tak punya ibu, tak punya uang.Tak banyak yang dimiliki
bocah itu dalam hidupnya. Dia hanya punya seorang bapak, satu-satunya
harta terindah baginya. Bapaknya tak pernah memukulnya meski dia tidak
bisa memperoleh uang sepeserpun dari hasil menyemir. Bapaknya selalu
merelakan nasi bagiannya untuk dimakan anaknya meski dia harus tersiksa
rasa lapar seharian. Sahabatnya pernah bilang dia selalu mendambakan
seorang bapak seperti itu. Dan bocah itu selalu bilang pada sahabatnya
“Kenapa tidak? Mulai sekarang bapakku adalah bapakmu juga.”
Bagaimana
dengan nyawanya? Apa dia benar-benar memilikinya? Suatu saat Bayangan
Iblis bisa saja menemukannya dan nasibnya akan sama dengan anak-anak
jalanan yang lain. Sampai sekarang dia merasa beruntung karena dia masih
bernapas. Tapi sampai kapan keberuntungan berada di pihaknya? Dia tidak
pernah tahu. Namun jika keberuntungannya habis dan dia berhadapan
dengan Bayangan Iblis akankah dia memberikan tubuh dan nyawanya untuk
Bayangan Iblis?
Bocah itu menepuk seekor nyamur di lengannya.
Cipratan darah menitik di sana dan nyamuk itu terjatuh di lantai
gerbong. Bocah itu kembali bertanya dalam hati apakah tubuh dan nyawa
ini miliknya? Dia menggelengkan kepala. Jika memang benar miliknya dia
bisa mati dan hidup sesuka hatinya. Jika ibu benar-benar miliknya dia
bisa menyuruh ibunya yang sudah lama mati untuk hidup saat ini juga.
Kenyataannya dia tidak bisa. Dia tidak mungkin melakukannya. Jadi
bagaimana dia bisa memberikan sesuatu yang bukan miliknya untuk orang
lain yang memintanya? Tidak. Dia tidak bisa memberikan tubuh dan nyawa
ini untuk Bayangan Iblis.
Tiba-tiba bocah itu tersenyum. Malam
ini dia memahami satu hal bahwa tak ada yang benar-benar dimilikinya
dalam hidup ini. Dia memandang bapaknya dengan sendu. Demikian juga
bapaknya. Suatu hari nanti bapaknya akan mati entah karena batuk kronis
yang dimilikinya, atau digebuk satpol PP, atau tertabrak kereta api,
atau mungkin diam-diam mati dalam tidurnya. Dia tak pernah tahu. Jadi
mungkin begitu maksud bapaknya. Karena tidak ada yang benar-benar
dimiliki dalam hidup ini maka dia harus iklas saat dia kehilangan
sesuatu dalam hidupnya.
Entah kenapa bocah itu merasa lega.
Mungkin karena peta buta di kepalanya mulai terbuka dan dia menemukan
arah yang tepat untuk memahaminya. Meski dia harus memulainya dari
nasehat ketiga. Sekarang dia tidak takut lagi. Dia sudah lama berjuang
untuk hidup maka tidak ada alasan untuk berhenti berjuang meski dia
harus berhadapan dengan Bayangan Iblis.
Malam itu bocah itu tidur
dengan nyenyak. Tak pernah selelap itu dalam hidupnya. Meski dia tahu
masih ada dua nasehat lagi yang harus dia pelajari. Dia tidak peduli
berapa lama dia butuhkan untuk memahaminya. Mungkin besok atau lusa atau
bahkan puluhan tahun lagi dia tidak peduli. Jika dia mati dulu sebelum
sempat memahami ketiga nasehat bapaknya, itu bukan suatu kegagalan
hidup. Dia yakin saat dia mati sebenarnya dia menuju kepada semua
jawaban yang berada di atas sana: ke tempat Pemilik Sejati jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar