Selasa, 01 Mei 2012

TIGA NASEHAT AYAH

“Hidup bukan hanya tentang apa yang kita makan, atau tentang apa yang kita pakai, atau apa yang kita miliki. Hidup adalah bersyukur atas makanan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Hidup adalah melepaskan apa yang kita pakai dan melekatkannya pada tubuh orang lain. Hidup adalah merelakan apa yang kita miliki untuk siapapun yang memintanya.”

Begitulah yang dikatakan seorang bapak kepada anak laki-lakinya saat mereka akan bersiap tidur beralas kardus di dalam gerbong kereta tua yang sudah tak terpakai lagi. Si anak yang masih membereskan kotak semir sepatunya hanya memandang bapaknya dengan kosong. Setiap malam dia selalu mendengar kata-kata bapaknya namun dia tetap saja tak paham. Si bapak lalu mengelus kepala anaknya dan merebahkan tubuhnya. Dia melipat kedua tangan dan meletakkannya di atas perut. Posisi tidurnya yang santai menandakan dia berada dalam ketenangan yang dalam. Laki-laki tua itu merasa damai selepas mengucapkan kata-kata itu, seakan mantra baginya untuk melindungi anaknya. Tak lama kemudian bapak itu terlelap.

Sebaliknya bocah itu masih terjaga, mencoba mereka-reka nasehat bapaknya yang tak terjangkau pemahamannya dan berakhir menjadi peta buta di kepala. Mungkin ini hanya masalah umur. Sepuluh tahun dia menghirup napas di dunia ini namun tak cukup mampu membuatnya mengerti meski jalanan menempanya menjadi anak yang tangguh dan lebih dewasa dari anak-anak berkehidupan normal lainnya. Dia sungguh hafal nasehat bapaknya bahkan dia hafal betul pada urutan kata keberapa bapak mengambil napas untuk bersiap meluncurkan kata-kata yang lain.

Bocah itu mengerutkan kening dan mulai menelusuri dari awal nasehat bapaknya.

HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA MAKAN.

Mungkin bapak mengatakan itu supaya aku tak lagi memandang lama-lama gedung kaca mirip aquarium besar berisi orang-orang yang asyik melahap paha ayam atau roti bertumpuk yang saat digigit akan meledakkan saus merah bercampur kuning kental lalu meleleh di sisi tumpukan roti. Jika memang itu artinya aku bisa melakukannya.

Dia lalu memandang remasan kertas nasi yang tidak menyisakan secuil nasipun. Itu adalah kertas nasi bekas makan malam mereka: nasi basi tanpa lauk. Anak itu mengelus perut. Kenyang. Dia yakin orang-orang itu juga merasakan rasa ini. Sama saja.

Dia mengeluarkan kaos coklat bergambar kartun Devil Tasmania dari kotak semir. Kaos itu adalah kaos kesayangan dari dua kaos yang dia punya dan yang satunya melekat di tubuh.

HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA PAKAI.

Tiba-tiba wajahnya muram. Bukan hanya dia yang menyukai kaos itu, sahabatnya juga. Sebenarnya dia berniat memberikan kaos itu di hari ulang tahun sahabatnya. Namun sayang, sahabatnya hilang sebelum dia sempat menghadiahkan kaos itu. Orang-orang bilang Bayangan Iblis telah merenggutnya sama seperti anak-anak jalanan lain yang hilang tanpa jejak. Banyak yang tidak diketemukan. Kalaupun ketemu tubuh mereka tak utuh lagi. Sama seperti nasib sahabatnya. Pagi ini kepala sahabatnya ditemukan di antara tumpukan sampah kota. Bulir-bulir airmata membasahi pipi bocah itu namun buru-buru dihapusnya. Dia sadar kaos itu tak mungkin berguna untuk sepotong kepala.

Lalu bagaimana dengan yang terakhir?

HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA MILIKI.

Dia tak punya rumah, tak punya ibu, tak punya uang.Tak banyak yang dimiliki bocah itu dalam hidupnya. Dia hanya punya seorang bapak, satu-satunya harta terindah baginya. Bapaknya tak pernah memukulnya meski dia tidak bisa memperoleh uang sepeserpun dari hasil menyemir. Bapaknya selalu merelakan nasi bagiannya untuk dimakan anaknya meski dia harus tersiksa rasa lapar seharian. Sahabatnya pernah bilang dia selalu mendambakan seorang bapak seperti itu. Dan bocah itu selalu bilang pada sahabatnya

“Kenapa tidak? Mulai sekarang bapakku adalah bapakmu juga.”

Bagaimana dengan nyawanya? Apa dia benar-benar memilikinya? Suatu saat Bayangan Iblis bisa saja menemukannya dan nasibnya akan sama dengan anak-anak jalanan yang lain. Sampai sekarang dia merasa beruntung karena dia masih bernapas. Tapi sampai kapan keberuntungan berada di pihaknya? Dia tidak pernah tahu. Namun jika keberuntungannya habis dan dia berhadapan dengan Bayangan Iblis akankah dia memberikan tubuh dan nyawanya untuk Bayangan Iblis?

Bocah itu menepuk seekor nyamur di lengannya. Cipratan darah menitik di sana dan nyamuk itu terjatuh di lantai gerbong. Bocah itu kembali bertanya dalam hati apakah tubuh dan nyawa ini miliknya? Dia menggelengkan kepala. Jika memang benar miliknya dia bisa mati dan hidup sesuka hatinya. Jika ibu benar-benar miliknya dia bisa menyuruh ibunya yang sudah lama mati untuk hidup saat ini juga. Kenyataannya dia tidak bisa. Dia tidak mungkin melakukannya. Jadi bagaimana dia bisa memberikan sesuatu yang bukan miliknya untuk orang lain yang memintanya? Tidak. Dia tidak bisa memberikan tubuh dan nyawa ini untuk Bayangan Iblis.

Tiba-tiba bocah itu tersenyum. Malam ini dia memahami satu hal bahwa tak ada yang benar-benar dimilikinya dalam hidup ini. Dia memandang bapaknya dengan sendu. Demikian juga bapaknya. Suatu hari nanti bapaknya akan mati entah karena batuk kronis yang dimilikinya, atau digebuk satpol PP, atau tertabrak kereta api, atau mungkin diam-diam mati dalam tidurnya. Dia tak pernah tahu. Jadi mungkin begitu maksud bapaknya. Karena tidak ada yang benar-benar dimiliki dalam hidup ini maka dia harus iklas saat dia kehilangan sesuatu dalam hidupnya.

Entah kenapa bocah itu merasa lega. Mungkin karena peta buta di kepalanya mulai terbuka dan dia menemukan arah yang tepat untuk memahaminya. Meski dia harus memulainya dari nasehat ketiga. Sekarang dia tidak takut lagi. Dia sudah lama berjuang untuk hidup maka tidak ada alasan untuk berhenti berjuang meski dia harus berhadapan dengan Bayangan Iblis.

Malam itu bocah itu tidur dengan nyenyak. Tak pernah selelap itu dalam hidupnya. Meski dia tahu masih ada dua nasehat lagi yang harus dia pelajari. Dia tidak peduli berapa lama dia butuhkan untuk memahaminya. Mungkin besok atau lusa atau bahkan puluhan tahun lagi dia tidak peduli. Jika dia mati dulu sebelum sempat memahami ketiga nasehat bapaknya, itu bukan suatu kegagalan hidup. Dia yakin saat dia mati sebenarnya dia menuju kepada semua jawaban yang berada di atas sana: ke tempat Pemilik Sejati jiwanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar